Tuesday, November 30, 2010

Menggabungkan bisnis dengan tujuan sosial

Membuat suatu bisnis atau usaha tidak gampang. Melakukan kegiatan sosial juga banyak susahnya. Bagaimana kalau menggabungkan bisnis dengan kegiatan sosial? Apa bisa?

Ternyata itu yang dilakukan oleh Nanglo Restaurant di Kathmandu, Nepal. Setidaknya ada 5 Nanglo Restaurant yang tersebar di berbagai wilayah di kota Kathmandu. Uniknya, hampir semua pelayannya adalah penyandang cacat bisu tuli. Para pelayannya bersikap ramah, banyak senyum, dan gesit dalam memberikan pelayanan. Namun jangan mengajak mereka bicara. Komunikasi dengan mereka cukup memakai bahasa Tarzan, alias bahasa isyarat. Kita tinggal menunjuk makanan yang kita ingini di daftar menu, atau tinggal tulis di kertas bila kita ingin meminta sesuatu yang spesifik (misalnya, jangan terlalu pedas, tidak pakai gula, dll). Ternyata pelanggan puas. Restaurant Nanglo termasuk restaurant yang laku dan terus berkembang meskipun situasi politik dan ekonomi tidak begitu bagus di Nepal akhir akhir ini.

Contoh lainnya adalah Tarjono Slamet (38). Tahun 1990, Tarjono harus kehilangan kaki kirinya yang terpaksa diamputasi. Dia juga harus menerima kenyataan bahwa 10 jari tangannya tak bisa lagi digerakkan lantaran mengalami kerusakan syaraf. Kebersamaan dengan sesama penderita cacat akhirnya menggugah Slamet untuk kemudian bangkit dari keputusasaan. Ia juga makin tekun menggeluti latihan keterampilan yang diajarkan di Yakkum. Bahkan, Tarjono sempat dikirim ke Selandia Baru, Australia dan Belanda untuk mengikuti berbagai kursus termasuk pelatihan fund rising.

Sepulang dari Australia, Tarjono Slamet memutuskan memulai hidup baru menjadi enterpreneur dan pekerjaan sebagai staf Yakkum ditinggalkannya. Dengan bekal keterampilan yang dimiliki dan modal warisan serta uang sisa gaji, Trajono mendirikan CV Mandiri Craft yang memproduksi aneka macam kerajinan kayu seperti alat peraga pendidikan dan puzzle. Tarjono merekrut 25 orang yang semuanya penyandang cacat sebagai karyawan. Tak banyak kesulitan memulai usaha karena mayoritas karyawannya adalah alumni Yakkum yang sudah dibekali keterampilan membuat aneka macam kerajinan. Tidak heran jika kemampuan produksi CV Mandiri Craft juga cukup besar mencapai 650 unit per bulannya, jumlah yang setara dengan kapasitas produksi suatu perusahaan yang dikerjakan oleh tenaga tanpa cacat fisik.
Soal pemasaran, bukan masalah serius bagi Si Pembuat Mainan ini. Pengalaman pernah belajar fund rising ke Eropa dan Australia membuka jaringan pemasaran untuk barang produksinya. Sebagian besar produk Mandiri Craft memang dieskpor, utamanya ke Eropa dan Amerika. Dengan pangsa ekspor itu, tak heran jika Tarjono mampu membayar semua karyawannya dengan upah di atas ketentuan pemerintah. Semua karyawan Mandiri Craft digaji di atas Upah Minimum Provinsi atau UMP. "Ini sudah menjadi cita-cita saya yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan teman-teman senasib. Saya ingin agar penyandang cacat bisa sejajar dengan orang normal," katanya tegar.
Di saat usaha maju dan jumlah karyawan bertambah, musibah kembali datang. Gempa bumi 27 Mei 2006 mengancurkan seluruh peralatan pruduksinya. Satu kontainer barang produksi siap impor, hancur. Bahkan satu karyawannya meninggal. Musibah ini menjadi tantangan tersendiri untuk Tarjono. Berat rasanya memulai dari nol kembali. Namun setelah trauma mereda, akal sehat Trajono kembali berjalan. Akibat gempa itu, kata dia, lebih dari 1000 orang mengalami cacat fisik. Mereka tentu butuh penghasilan untuk tetap bertahan hidup karena tak mungkin selamanya menggantungkan diri kepada orang lain. Atas dasar itu, Tarjono bertekad kembali membangun Mandiri Craft yang tinggal puing-puing itu.
Berbekal bantuan dari masyarakat Jepang dan negara lain, tahun 2007 Tarjono mulai merintis Mandiri Craft lembaran baru. CV Mandiri Craft ia bubarkan. Sebagai gantinya, ia mendirikan Yayasan Penyandang Cacat Mandiri. Usahanya tetap sama yaitu memproduksi aneka mainan dari kayu. Tantang yang dihadapi saat ini adalah persaingan yang lumayan ketat dalam pemasaran produk. "Apalagi pasar ekspor, terutama Eropa masih terimbas kiris di sana," ujar Tarjono. Saat ini 80 persen produknya dijual untuk pasar Indonesia seperti ke Jakarta, Bandung, Surabaya dan Bali. Masih rendahnya pasar ekspor membuat omset usaha saat ini menurun hingga sebesar Rp 50-an juta per bulan. Sementara saat pasar ekspor sedang bagus, Tarjono bisa membukukan omset hingga Rp 150 juta per bulan. "Menghadapi ini, kami berupaya melakukan efiseinsi, terutama dari sisi bahan utama dan bahan pendukung," jelasnya. Meski demikian, produk Yayasan Penyandang Cacat Mandiri tetap mengutamakan kualitas, baik dari sisi kayu maupun cat yang digunakan. "Kami menggunakan cat non tosik sehingga tidak membahayakan anak-anak. Dengan kualitas yang baik, pelanggan tetap setia pada produk kami," jelas Tarjono.
Saat ini, yayasan itu memiliki 55 karyawan yang semuanya adalah penyandang cacat fisik. Mulai dari produksi, administrasi hingga keuangan, semuanya ditangani oleh karyawan yang difabel secara fisik. Tarjono yang menjabat sebagai manager, mempunyai dua lokasi workshop yaitu di Jalan Parangtritis KM 7,5 di Jalan Parangtritis KM 9.

Dua contoh diatas terkait dengan penyandang cacat. Namun, menggabungkan wira usaha dengan tujuan sosial mempunyai berbagai model. Termasuk didalam wira usaha sosial adalah, misalnya:  bisnis yang membuat bahan bangunan murah untuk masyarakat miskin, bisnis yang memakai teknologi ramah lingkungan, dan masih banyak yang lain. Insya Allah saya akan coba menggali dan menulis lebih banyak lagi contoh tentang wira usaha sosial.

Di negara maju banyak universitas, yayasan, investor yang membantu pengembangan wira usaha sosial. Bahkan setiap tahun ada kompetisi dan tantangan dalam bidang wira usaha sosial. Pengalaman perusahaan Medicasse adalah salah satu perusahaan yang mendapat bimbingan dari Universitas New York.
Perusahaan Madecasse, yang didirikan oleh Tim Mc Collum, Brett Beach dan Pastor Brian  juga menggabungkan bisnis dengan tujuan sosial. Madecasse didirikan dengan tujuan untuk memecahkan sebagian permasalahan sosial di Madagaskar, yaitu masalaha kemiskinan. Ide mendirikan Madecasse timbul ketika mereka bekerja sebagai relawan Peace Corps disana. Selama ini Madagaskar mengekspor coklat mentah dan vanilla dengan harga murah. Dengan mengolahnya menjadi permen coklat dan dibungkus dengan kemasan yang bagus, harganya sudah meningkat cukup tinggi sehingga keuntungannya juga semakin besar. Madecasse menciptakan lapangan kerja dengan membuat pabrik kemasan makanan, kerajinan, tangan  dan pabrik lain di dalam negri Madakaskar.
Setelah bermitra dengan sebuah pabrik di Madagaskar, ketiga pendiri Madecasse harus menggalang dana (diluar kontribusi pribadi masing masing) dan menjalin hubungan agar produk mereka bisa masuk ke pasar swalayan di Amerika. Disitulah diperlukan ketrampilan wirausaha sosial (social entrepreneur) yang kebetulan dipunyai oleh Brian Mc Collum yang mendapat gelar MBA dari Stern School of Business, Universitas New York pada tahun 2007. Di Stern Business School ada mata pelajaran tentang wirausaha sosial. Mereka bertiga, dengan membawa konsep bisnis model Madecasse, mengikuti program kompetisi pengembangan wirausaha sosial selama 8 bulan di Universitas New York. Dalam program tersebut, mereka mendapat nasehat dan masukan dari Investor's Circle, jaringan investor dermawan yang berminat dengan ide memecahkan masalah sosial melalui bisnis. Madecasse menang kompetisi tersebut dan menerima hadiah sekitar Rp 200 juta.

Bila anda menggeluti wira usaha sosial saat ini. Tidak ada salahnya bila anda memanfaatkan bantuan dari organisasi di negara maju yang bergerak dalam pengembangan wira usaha sosial, seperti: Ashoka, The Skoll Foundation, The Schwabb Foundation for Social Enterpreneurship, Investor Circle, dan masih banyak yang lain.
Semoga bermanfaat.

No comments:

Post a Comment