Awalnya, para biarawan meminta bantuan dua-wanita kelompok pemasaran (Sarah Caniglia dan Cindy Griffith) untuk mempelajari budaya dan keyakinan para biarawan dan kemudian berdasar pemahaman tersebut mereka diminta mengembangkan rencana bisnis yang sesuai dengan keyakinan dan budaya organisasinya.(Caniglia dan Griffith atas nama para biarawan menjalankan MonkHelper Marketing, Inc, perusahaan yang mengelola pemasaran produk LaserMonks.com ). Rencana bisnis tersebut memiliki dua inti sebagai prinsip dasarnya, yaitu pertama memberikan kembali semua keuntungan yang dihasilkan dari bisnis kepada masyarakat melalui berbagai jenis kegiatan amal; dan kedua, layanan kepada pelanggan berdasarkan tradisi keramahan Cistercians yang telah biasa mereka berikan kepada masyarakat selama sembilan ratus tahun.
LaserMonks, yang menjual kartrid tinta dan toner, dapat membuat produk berbiaya rendah dengan cara menghindari pemasaran dan periklanan tradisional dan menggunakan droping pengirim untuk mendistribusikan produk yang mereka jual. Hal ini memungkinkan bisnis tersebut memberikan semua keuntungan untuk kegiatan amal, dengan demikian secara efektif membedakan diri mereka dari para pesaingnya (diferensiasi)..
Inti isi pesan dalam pemasarannya adalah memberitahukan kepada pelanggan bahwa dengan membeli produk keluaran Laser Monks, maka konsumer secara tidak langsung telah membantu masyarakat mereka sendiri karena semua keuntungannya akan kembali ke masyarakat dalam bentuk kegiatan amal. Melalui pemasaran dari mulut kemulut, masyarakt membeli produk Laser Monks dan mereka sangat loyal kepada laser Monks.
Caniglia dan Griffith, penulis buku tentang LaserMonks, menjelaskan bagaimana mereka menjual konsep kepada pelanggan mereka sebagai "pembelian untuk mendukung kegiatan amal." Situs web dan semua kontak dengan pelanggan menekankan bahwa dengan membeli produk LaserMonk maka konsumer telah ikut "memberi" kepada masyarakat. Ajakan untuk "memberi sedekah" melalui pembelian produk mereka ternyata mampu menarik cukup banyak pelanggan ditengah pasar supplier komputer yang sangat kompetitif.
beberapa karakteristik yang membuat Laser Monk sukses:
1. Model bisnis dan pesan bisnis yang unik. Tidak ada perusahaan tinta printer dan toner yang menyumbangkan keuntungannya untuk membantu orang yang kekurangan. Konsumer mendapatkan produk yang dibutuhkannya dan sekaligus perasaan senang karena telah ikut membantu sesama.
2. Produk yang berkualitas. Perasaan senang karena telah menolong sesama akan segera sirna bila produk yang mereka beli berkualitas rendah. LaserMonk bergerak dipasar isi ulang tinta printer juga, selain produk tinta printer ber-merk dagang.
3. Servis kepada pelanggan yang superior. Lasr Monks memberikan pelayanan kepada pelanggan secara luar biasa, mulai dari penggantian produk yang cacat tanpa banyak rewel hingga pemberian hadiah gratis. Pekerja di Laser Monks juga meniru etos kerja para biarawan dan mereka merasa ikut melakukan kerja sosial.
4.Harga yang melawan. Laser Monks tidak memberikan harga terendah, namun harganya tetap bersaing. Mereka tidak ikut-ikutan dalam perang harga.
5. Sanggup berubah menyusuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam bisnis. Perusahaan laser Monks melakukan penelitian dan pengembangan produk secara serius. Mereka berada di depan dalam pengembangan produk produk baru.
6. Pendekatan kreatif dalam pemasaran. Sejak awal Laser Monks menggunakan pendekatan pemasaran akar rumput (grass root marketing) dan semuanya dilakukan internal perusahaan.
7. Kejujuran dan integritas. Laser Monk melakukan bisnisnya dengan penuh kejujuran dan integritas. Pelanggan dan supplier merasa yakin bahwa mereka akan dilayani dengan penuh kejujuran dan integritas , sehingga sebagai balasannya, merekapun melayani Laser Monks dengan penuh kejujuran dan integritas juga.
Di Indonesia, kita punya Santri Group, sebuah perusahaan yang juga mengkaitkan bisnis dengan sedekah. Kisah Santri Group ini saya kutip dari http://fajrisalim.blogspot.com/2007/11/bisnis-dan-sodakoh.html.
Santri Group itu menyedekahkan sebagian keuntungannya untuk umat. `'Ada beberapa perusahaan yang separuh untungnya untuk sedekah. Ada yang 20 persen keuntungnya untuk sedekah,'' papar Soeparno, pimpinan santri Group. Kalau kita datang ke Toko Santri miliknya yang berjumlah 12 dan tersebar di seluruh wilayah Solo, kita akan menjumpai spanduk bertuliskan, `'Sebanyak 20 persen hasil usaha untuk sedekah, 2,5 persen untuk zakat.''
Apakah sedekah yang begitu besar (hingga mencapai 50 persen dari laba) tidak mengganggu usaha? Bukankah biasanya orang sengaja mencadangkan sebagian labanya untuk ekspansi usaha? ''Sama sekali tidak mengganggu usaha. Bukankah yang disedekahkan itu hanya labanya? Lagi pula, satu hal yang pasti, adalah keberkahan yang luar biasa.''
Bapak sembilan anak ini menambahkan, `'Saya tidak khawatir bahwa sedekah itu akan mengurangi laba dan mengganggu bisnis saya. Saya malah merasa bahagia, karena bisa memberikan sesuatu yang insya Allah berguna bagi orang lain,'' tutur lelaki yang memulai bisnis sejak masih usia belasan tahun.
Soeparno menyebutkan, anak-anaknya sudah besar semua. `'Tugas saya menyiapkan mereka untuk hidup layak di dunia boleh dibilang sudah terlaksana. Mereka semua sudah punya usaha. Sekarang justru yang penting adalah menyiapkan bekal buat saya pulang ke akhirat. Kalau saya menyedekahkan 50 persen laba saya, maka itulah yang jadi milik saya di akhirat nanti. Saya berharap bisa panen di akhirat,'' tuturnya.
Soeparno menyebutkan ada dua tujuan memperbanyak sedekah itu. Pertama, mencari ridha Allah. Kedua, memberi contoh kepada yang lain, khususnya keluarga dan sanak kerabat, supaya mencari kekayaan jangan untuk menyenangkan diri sendiri tapi untuk umat.
Dana sedekah dan zakat itu, oleh Soeparno digunakan untuk membangun pondok pesantren, masjid, SD Islam internasional, dan TK Islam. Soeparno juga mendirikan Yayasan Al Abidin. Dia menjadi ketua yayasan, sedangkan anggotanya adalah sembilan orang anaknya. `'Inilah sedikit sumbangsih kami kepada masyarakat. Semoga ada manfaatnya, dan semoga Allah SWT berkenan menerimanya,'' tuturnya.
Soeparno adalah contoh seorang pengusaha Muslim yang ulet. Dia merintis usahanya sejak kecil, sejak masih zaman Belanda. Mula-mula dia jualan nasi bungkus di desa Kaliyoso (Solo arah Purwodadi), keliling kampung. Kemudian dia berjualan rokok dan permen.
Tahun 1952 ia merantau ke Kalimantan. Dia sana dia masuk pendidikan militer selama enam bulan, dan menyandang pangkat Prajurit Dua. Dia jadi tentara sambil berdagang minyak tanah dan bertani di daerah Balikpapan. Tahun 1962, ia kembali ke Solo. Jadi tentara sambil berdagang beras. Tahun 1966, ia membuka pabrik kantong gula putih.''Tahun 1967 saya membuka pabrik jas hujan. Pabrik tersebut sampai sekarang masih bertahan. Produk tersebut beredar ke seluruh Indonesia. Mereknya adalah Cap Gajah,'' paparnya.
Tahun 1994, Soeparno melebarkan sayap usahanya dengan mendirikan pabrik tikar plastik. Pemasarannya mencakup Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada beberapa merek yang dipasarkan, seperti Cap Gajah, Cap Ikan Terbang, dan Cap Kuda Terbang. Usaha Soeparno terus berkembang. Tahun 2002, ia membuka pabrik busa untuk mebel. Pemasarannya mencakup seluruh wilayah Jawa Tengah. Tahun 2004, dia membuka pabrik rantang plastik dan gantungan baju. `'Orang Muslim harus selalu jeli melihat peluang-peluang bisnis,'' tegasnya.
Tak hanya memproduksi bermacam-macam produk. Soeparno juga bermain di sektor hilir, yakni ritel. Dia mendirikan toko kelontong yang menjual bermacam-macam karpet dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Toko yang memakai merek 'Santri' itu dirintis sejak 10 tahun silam. Saat ini jumlahnya sudah mencapai 12 buah dan tersebar di seluruh wilayah Solo. `'Saya sengaja memakai atribut Islam. Jangan takut berbisnis memakai bendera syariah. Ini malah keharusan bagi seorang Muslim, agar usahanya jadi berkah,'' ujarnya.
Soeparno menyebutkan, 50 persen laba bersih pabrik busa, dan pabrik tikar disedekahkan. Pabrik mantel ada dua. Yang satu, 50 persen labanya disedekahkan. Yang satu lagi, 20 persen disedekahkan. `'Pokoknya jangan takut miskin lantaran bersedekah. Allah sudah berjanji akan membelas sedekah yang kita keluarkan dengan balasan berlipat ganda hingga 700 kali lipat. Dan janji Allah pasti benar,'' tandas Soeparno.
Dia menjelaskan, di zaman Rasulullah para sahabat senantiasa berlomba-lomba untuk bersedekah sebanyak mungkin. Abu Bakar,Umar, Ustman, Abdurrahman bin Auf dan lain-lain, semuanya selalu berlomba-lomba untuk bersedekah sebanyak mungkin. Abdurrahman bin Auf adalah contoh seorang pengusaha yang selalu bersedekah sebanyak-banyaknya, namun hartanya makin melimpah. Makin besar sedekah yang dia keluarkan, harta tersebut makin berkembang. `'Sungguh, Allah SWT tak pernah mengingkari janjinya,'' tegas Soeparno.
Soeparno mendidik anak-anaknya untuk berbisnis. `'Tak ada anak saya yang jadi pegawai,'' katanya. Mengapa dia tidak mau jadi pegawai dan juga `melarang' anak-anaknya jadi pegawai? `'Sebab, kalau kita jadi pegawai, sering ibadah kita tidak lancar atau tertekan. Pernah waktu jadi pegawai, saya dihukum gara-gara shalat. Kalau punya usaha sendiri, ibadah bebas,'' tegasnya.
Di samping itu, kata Soeparno, kalau kita jadi pegawai, penghasilan pun relative terbatas, karena sudah diatur oleh pemilik perusahaan. `'Mana ada pegawai yang kaya kalau tidak korupsi?''kritiknya. Sebaliknya, kalau kita berbisnis. Peluang meraih kekayaan terbuka lebar. `'Bukankah Nabi bersabda bahwa 90 persen rezeki berada di tangan pedagang dan pengusaha. Sisanya yang 10 persen itulah yang diperebutkan banyak orang,'' ujarnya memberikan alasan.
Totalitas Soeparno dalam ber-Islam juga ditunjukkan dengan perhatiannya kepada bank syariah. Dulu, sewaktu Bank Muamalat buka cabang di Semarang, Soeparno menarik dananya di bank konvensional, kemudian menyimpannya di bank syariah tersebut. `'Setelah Bank Syariah Mandiri membuka cabang di Solo pada Agustus 2000, maka dana saya seluruhnya saya pindahkan ke BSM Solo. Saya merupakan nasabah pertama BSM Solo. Saya tidak hanya nasabah penyimpan dana, melainkan juga nasabah pembiayaan di BSM,'' paparnya.
Itulah Soeparno. Lelaki yang kelihatan selalu gesit dan penuh semangat bila bicara soal-soal Islam dan kaum Muslimin. Lelaki yang rohaninya makin kayak arena dia tidak sungkan-sungkan untuk mendistribusikan sebagian kekayaannya untuk orang yang memerlukan.
LaserMonks dan Santri Group menunjukkan kepada kita bahwa bisnis tidak harus melulu berorientasi komersial. Mengkaitkan bisnis dengan sedekah atau amal jariah ternyata tidak hanya baik, tapi juga mampu meningkatkan keuntungan. Mari kita tiru mereka, bikin bisnis agar bisa bersedekah.
Caniglia dan Griffith, penulis buku tentang LaserMonks, menjelaskan bagaimana mereka menjual konsep kepada pelanggan mereka sebagai "pembelian untuk mendukung kegiatan amal." Situs web dan semua kontak dengan pelanggan menekankan bahwa dengan membeli produk LaserMonk maka konsumer telah ikut "memberi" kepada masyarakat. Ajakan untuk "memberi sedekah" melalui pembelian produk mereka ternyata mampu menarik cukup banyak pelanggan ditengah pasar supplier komputer yang sangat kompetitif.
beberapa karakteristik yang membuat Laser Monk sukses:
1. Model bisnis dan pesan bisnis yang unik. Tidak ada perusahaan tinta printer dan toner yang menyumbangkan keuntungannya untuk membantu orang yang kekurangan. Konsumer mendapatkan produk yang dibutuhkannya dan sekaligus perasaan senang karena telah ikut membantu sesama.
2. Produk yang berkualitas. Perasaan senang karena telah menolong sesama akan segera sirna bila produk yang mereka beli berkualitas rendah. LaserMonk bergerak dipasar isi ulang tinta printer juga, selain produk tinta printer ber-merk dagang.
3. Servis kepada pelanggan yang superior. Lasr Monks memberikan pelayanan kepada pelanggan secara luar biasa, mulai dari penggantian produk yang cacat tanpa banyak rewel hingga pemberian hadiah gratis. Pekerja di Laser Monks juga meniru etos kerja para biarawan dan mereka merasa ikut melakukan kerja sosial.
4.Harga yang melawan. Laser Monks tidak memberikan harga terendah, namun harganya tetap bersaing. Mereka tidak ikut-ikutan dalam perang harga.
5. Sanggup berubah menyusuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam bisnis. Perusahaan laser Monks melakukan penelitian dan pengembangan produk secara serius. Mereka berada di depan dalam pengembangan produk produk baru.
6. Pendekatan kreatif dalam pemasaran. Sejak awal Laser Monks menggunakan pendekatan pemasaran akar rumput (grass root marketing) dan semuanya dilakukan internal perusahaan.
7. Kejujuran dan integritas. Laser Monk melakukan bisnisnya dengan penuh kejujuran dan integritas. Pelanggan dan supplier merasa yakin bahwa mereka akan dilayani dengan penuh kejujuran dan integritas , sehingga sebagai balasannya, merekapun melayani Laser Monks dengan penuh kejujuran dan integritas juga.
Di Indonesia, kita punya Santri Group, sebuah perusahaan yang juga mengkaitkan bisnis dengan sedekah. Kisah Santri Group ini saya kutip dari http://fajrisalim.blogspot.com/2007/11/bisnis-dan-sodakoh.html.
Santri Group itu menyedekahkan sebagian keuntungannya untuk umat. `'Ada beberapa perusahaan yang separuh untungnya untuk sedekah. Ada yang 20 persen keuntungnya untuk sedekah,'' papar Soeparno, pimpinan santri Group. Kalau kita datang ke Toko Santri miliknya yang berjumlah 12 dan tersebar di seluruh wilayah Solo, kita akan menjumpai spanduk bertuliskan, `'Sebanyak 20 persen hasil usaha untuk sedekah, 2,5 persen untuk zakat.''
Apakah sedekah yang begitu besar (hingga mencapai 50 persen dari laba) tidak mengganggu usaha? Bukankah biasanya orang sengaja mencadangkan sebagian labanya untuk ekspansi usaha? ''Sama sekali tidak mengganggu usaha. Bukankah yang disedekahkan itu hanya labanya? Lagi pula, satu hal yang pasti, adalah keberkahan yang luar biasa.''
Bapak sembilan anak ini menambahkan, `'Saya tidak khawatir bahwa sedekah itu akan mengurangi laba dan mengganggu bisnis saya. Saya malah merasa bahagia, karena bisa memberikan sesuatu yang insya Allah berguna bagi orang lain,'' tutur lelaki yang memulai bisnis sejak masih usia belasan tahun.
Soeparno menyebutkan, anak-anaknya sudah besar semua. `'Tugas saya menyiapkan mereka untuk hidup layak di dunia boleh dibilang sudah terlaksana. Mereka semua sudah punya usaha. Sekarang justru yang penting adalah menyiapkan bekal buat saya pulang ke akhirat. Kalau saya menyedekahkan 50 persen laba saya, maka itulah yang jadi milik saya di akhirat nanti. Saya berharap bisa panen di akhirat,'' tuturnya.
Soeparno menyebutkan ada dua tujuan memperbanyak sedekah itu. Pertama, mencari ridha Allah. Kedua, memberi contoh kepada yang lain, khususnya keluarga dan sanak kerabat, supaya mencari kekayaan jangan untuk menyenangkan diri sendiri tapi untuk umat.
Dana sedekah dan zakat itu, oleh Soeparno digunakan untuk membangun pondok pesantren, masjid, SD Islam internasional, dan TK Islam. Soeparno juga mendirikan Yayasan Al Abidin. Dia menjadi ketua yayasan, sedangkan anggotanya adalah sembilan orang anaknya. `'Inilah sedikit sumbangsih kami kepada masyarakat. Semoga ada manfaatnya, dan semoga Allah SWT berkenan menerimanya,'' tuturnya.
Soeparno adalah contoh seorang pengusaha Muslim yang ulet. Dia merintis usahanya sejak kecil, sejak masih zaman Belanda. Mula-mula dia jualan nasi bungkus di desa Kaliyoso (Solo arah Purwodadi), keliling kampung. Kemudian dia berjualan rokok dan permen.
Tahun 1952 ia merantau ke Kalimantan. Dia sana dia masuk pendidikan militer selama enam bulan, dan menyandang pangkat Prajurit Dua. Dia jadi tentara sambil berdagang minyak tanah dan bertani di daerah Balikpapan. Tahun 1962, ia kembali ke Solo. Jadi tentara sambil berdagang beras. Tahun 1966, ia membuka pabrik kantong gula putih.''Tahun 1967 saya membuka pabrik jas hujan. Pabrik tersebut sampai sekarang masih bertahan. Produk tersebut beredar ke seluruh Indonesia. Mereknya adalah Cap Gajah,'' paparnya.
Tahun 1994, Soeparno melebarkan sayap usahanya dengan mendirikan pabrik tikar plastik. Pemasarannya mencakup Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada beberapa merek yang dipasarkan, seperti Cap Gajah, Cap Ikan Terbang, dan Cap Kuda Terbang. Usaha Soeparno terus berkembang. Tahun 2002, ia membuka pabrik busa untuk mebel. Pemasarannya mencakup seluruh wilayah Jawa Tengah. Tahun 2004, dia membuka pabrik rantang plastik dan gantungan baju. `'Orang Muslim harus selalu jeli melihat peluang-peluang bisnis,'' tegasnya.
Tak hanya memproduksi bermacam-macam produk. Soeparno juga bermain di sektor hilir, yakni ritel. Dia mendirikan toko kelontong yang menjual bermacam-macam karpet dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Toko yang memakai merek 'Santri' itu dirintis sejak 10 tahun silam. Saat ini jumlahnya sudah mencapai 12 buah dan tersebar di seluruh wilayah Solo. `'Saya sengaja memakai atribut Islam. Jangan takut berbisnis memakai bendera syariah. Ini malah keharusan bagi seorang Muslim, agar usahanya jadi berkah,'' ujarnya.
Soeparno menyebutkan, 50 persen laba bersih pabrik busa, dan pabrik tikar disedekahkan. Pabrik mantel ada dua. Yang satu, 50 persen labanya disedekahkan. Yang satu lagi, 20 persen disedekahkan. `'Pokoknya jangan takut miskin lantaran bersedekah. Allah sudah berjanji akan membelas sedekah yang kita keluarkan dengan balasan berlipat ganda hingga 700 kali lipat. Dan janji Allah pasti benar,'' tandas Soeparno.
Dia menjelaskan, di zaman Rasulullah para sahabat senantiasa berlomba-lomba untuk bersedekah sebanyak mungkin. Abu Bakar,Umar, Ustman, Abdurrahman bin Auf dan lain-lain, semuanya selalu berlomba-lomba untuk bersedekah sebanyak mungkin. Abdurrahman bin Auf adalah contoh seorang pengusaha yang selalu bersedekah sebanyak-banyaknya, namun hartanya makin melimpah. Makin besar sedekah yang dia keluarkan, harta tersebut makin berkembang. `'Sungguh, Allah SWT tak pernah mengingkari janjinya,'' tegas Soeparno.
Soeparno mendidik anak-anaknya untuk berbisnis. `'Tak ada anak saya yang jadi pegawai,'' katanya. Mengapa dia tidak mau jadi pegawai dan juga `melarang' anak-anaknya jadi pegawai? `'Sebab, kalau kita jadi pegawai, sering ibadah kita tidak lancar atau tertekan. Pernah waktu jadi pegawai, saya dihukum gara-gara shalat. Kalau punya usaha sendiri, ibadah bebas,'' tegasnya.
Di samping itu, kata Soeparno, kalau kita jadi pegawai, penghasilan pun relative terbatas, karena sudah diatur oleh pemilik perusahaan. `'Mana ada pegawai yang kaya kalau tidak korupsi?''kritiknya. Sebaliknya, kalau kita berbisnis. Peluang meraih kekayaan terbuka lebar. `'Bukankah Nabi bersabda bahwa 90 persen rezeki berada di tangan pedagang dan pengusaha. Sisanya yang 10 persen itulah yang diperebutkan banyak orang,'' ujarnya memberikan alasan.
Totalitas Soeparno dalam ber-Islam juga ditunjukkan dengan perhatiannya kepada bank syariah. Dulu, sewaktu Bank Muamalat buka cabang di Semarang, Soeparno menarik dananya di bank konvensional, kemudian menyimpannya di bank syariah tersebut. `'Setelah Bank Syariah Mandiri membuka cabang di Solo pada Agustus 2000, maka dana saya seluruhnya saya pindahkan ke BSM Solo. Saya merupakan nasabah pertama BSM Solo. Saya tidak hanya nasabah penyimpan dana, melainkan juga nasabah pembiayaan di BSM,'' paparnya.
Itulah Soeparno. Lelaki yang kelihatan selalu gesit dan penuh semangat bila bicara soal-soal Islam dan kaum Muslimin. Lelaki yang rohaninya makin kayak arena dia tidak sungkan-sungkan untuk mendistribusikan sebagian kekayaannya untuk orang yang memerlukan.
LaserMonks dan Santri Group menunjukkan kepada kita bahwa bisnis tidak harus melulu berorientasi komersial. Mengkaitkan bisnis dengan sedekah atau amal jariah ternyata tidak hanya baik, tapi juga mampu meningkatkan keuntungan. Mari kita tiru mereka, bikin bisnis agar bisa bersedekah.
No comments:
Post a Comment