Sunday, March 13, 2011

Belajar dari Sagiyem

Sagiyem (48 tahun) hidup sebatang kara. Bertahun-tahun sudah Sagiyem tinggal di bangunan sempit dan kotor. Berpegang pada satu keyakinan bahwa nasib harus ditanggung sendiri, Sagiyem selalu berusaha dengan penuh semangat. Dia berjualan nasi uduk, goreng-gorengan dan makanan ringan lainnya. Dia berpantang meminta belas kasih orang lain. Dengan gerobak tua yang selalu setia menemaninya berjualan, tiap pagi hingga sore menjelang, Sagiyem berkeliling kampung, penuh harap dagangan hari itu akan habis terjual.

Sagiyem terus berusaha, hingga suatu kali datang masa-masa paling sulit. Gerobak yang selama ini menemaninya berjualan rusak parah. Wanita paruh baya ini tidak bisa berjualan seperti biasa. Tak lantas bermurung, Sagiyem mencari cara agar tetap berjualan. Dia membawa barang dagangannya ke pinggir-pinggir jalan dan sesekali mangkal di gang-gang tempat orang lalu-lalang. Meski risiko terjaring Satpol PP sangat besar, Sagiyem tetap berjuang melawan rasa takut itu demi bertahan hidup.

Orang-orang kecil seperti Sagiyem selalu berada di posisi yang tidak menguntungkan. Kesulitan yang mendalam dirasakan Sagiyem saat harga-harga kebutuhan pokok melonjak drastis. Sagiyem tak mampu membeli bahan-bahan pokok yang biasa dibelinya di pasaran. Pilihannya, Sagiyem harus menaikkan harga barang dagangannya. “Saya gimana lagi, kalau harga bahan udah naik,” tutur Sagiyem.

Hidup sebatang kara, dengan kondisi yang serba kekurangan bukanlah halangan untuk selalu peduli dengan sesama. Di tengah keterbatasannya, Sagiyem menyimpan rasa solidaritas yang tinggi. Di ukuran rumahnya yang serba kecil dan sumpek, Sagiyem menampung beberapa orang yang sudah lanjut usia. Mereka adalah orang-orang telantar yang tidak memiliki sanak famili dan tak memiliki tempat berteduh.

Bila anda tergerak untuk menolong Sagiyem agar dia bisa lebih banyak lagi menolong orang, silahkan kontak Dompet Dhuafa. saya kutip kisah ini dari mereka.

No comments:

Post a Comment