Monday, November 7, 2011

Kemiskidi, pengembang wisata desa

Kemiskidi (49) tak membayangkan kampung halamannya bakal riuh seperti sekarang. Dua dekade lalu, ia memilih tetap tinggal di kampungnya, Krebet, untuk menjadi seorang pembuat topeng kayu. Namun rupanya, pilihannya itu tak hanya membuat Kemiskidi hidup dan menghidupi keluarganya dari topeng kayu. Tetapi, penduduk seluruh kampung bahkan kampung-kampung di sekitarnya, kini menggantungkan masa depan mereka pada kerajinan dari kayu.


Krebet adalah sebuah dusun di Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, di perbukitan Selarong, Kabupaten Bantul. Tanah pekarangan di sana tandus dan berkapur, kurang cocok ditanami padi atau tanaman sawah lainnya. Warga menanami tegalan mereka dengan ketela, jati atau tanaman keras lainnya.

Namun sekarang, setelah mayoritas warga Krebet berganti haluan menjadi seniman pembuat topeng, wayang, atau kerajinan-kerajinan lain dari kayu, orang-orang datang dari berbagai daerah ke Krebet. Para pendatang itu membeli aneka kerajinan kayu. Bahkan turis-turis asing juga ramai berkunjung ke Krebet. Sebagian membeli kerajinan itu untuk dikoleksi sendiri tetapi lebih banyak yang membeli kerajinan kayu untuk dijual lagi di tempat lain.


Untuk bisa menjadi Krebet seperti sekarang yang dikenal sebagai Desa Wisata Batik Kayu, butuh perjalanan panjang. Ini bermula dari perjalanan hidup Kemiskidi, salah satu warga setempat yang kini dipercaya sebagai Kepala Dusun Krebet.


Kemis, demikian ia biasa dipanggil, berasal dari keluarga miskin. Setelah lulus Sekolah Dasar, Kemis ingin melanjutkan sekolah, namun orang tuanya tak mampu membiayai. Kemis malah diminta ayahnya membantu bekerja di sawah, menggarap tegalan yang tandus.

Namun Kemis bersikeras untuk bisa melanjutkan sekolah meski tak dibiayai orang tuanya. Maka selepas SD, sekitar tahun 1975, Kemis berusaha menghindar agar tidak disuruh bekerja di sawah. Ia mulai belajar membuat topeng kayu kepada Warno Warsito, seniman topeng kayu di Desa Pendowoharjo Kecamatan Sewon Bantul, sekitar 8 km dari Krebet.


Setiap hari ia naik sepeda onthel menapaki jalan berbatu menuju rumah Pak Warno untuk belajar membuat topeng kayu dan aneka kerajinan lain. Setelah tiga tahun belajar, Kemis mulai dipercaya Warno, bahkan ia tidak lagi belajar melainkan bekerja di rumah Warno.

"Setelah saya punya uang, maka tahun 1978 saya sekolah lagi di SMP PIRI di Kota Yogyakarta yang jaraknya sekitar 15 kilometer dari rumah. Begitu lulus, saya langsung melanjutkan ke SMA PIRI juga di Kota Yogyakarta," kata Kemis.

Saat sekolah, saban hari Kemis bangun pukul dua pagi. Ia memboncengkan ibunya yang berjualan sayuran di Pasar Gamping di Kabupaten Sleman dengan sepeda onthel. Tiba di Gamping saat azan Subuh. Ia biasa numpang di Polsek Gamping untuk salat dan mandi. Setelah itu baru berangkat ke sekolah di SMP atau SMA PIRI di Pugeran Yogyakarta. Pulang sekolah, Kemis langsung pulang ke rumah Pak Warno untuk bekerja membuat topeng hingga Magrib. Begitu setiap harinya.


Lulus SMA tahun 1984, Kemis mulai merintis usaha sendiri. Ia membuat kerajinan lantas dijual secara keliling di Yogyakarta seperti di Malioboro atau art shop yang ada. Atau kadang ia diminta nyungging di rumah orang-orang kaya di Yogyakarta

"Hingga suatu ketika saya disarankan Pak Warno untuk tinggal di rumah dan bekerja di rumah. Maka sejak 1988, saya tinggal di rumah di Krebet. Saya membuat topeng kemudian saya cat lalu setelah ada beberapa karya, lalu saya jual ke kota," kata Kemis, ayah dari lima anak ini.


Keyakinan Kemis pada kerajinan kayu, membuat beberapa tetangganya meniru. Warga mulai berdatangan padanya untuk belajar membuat topeng, wayang klitik, atau kerajinan kayu lainnya. Dengan senang hati, Kemis yang memang diwanti-wanti Pak Warno untuk menularkan ilmunya, mau mengajari warga sekitar membuat topeng.


Jalan terang itu akhirnya mulai terbuka. Tahun 1992, Kemis mendapat order sebanyak 1.000 wayang klitik dari APKRI atau asosiasi pemasaran kerajinan rakyat Indonesia, senilai Rp 12,5 juta. Tahun itu, uang sebesar Rp 12,5 juta bisa untuk membeli lima buah Honda Prima baru. "Saya juga membeli sepeda motor. Ini kendaraan bermotor pertama yang saya miliki," kata Kemis.


Jalan terang itu yang makin membuka mata warga Krebet. Mereka makin berduyun-duyun datang ke rumah Kemis untuk belajar dan bekerja menjadi tukang potong kayu, tukang amplas atau tukang mewarnai. Maka, Kemis mulai memberi nama usahanya dengan Sanggar Peni.


Beberapa bekas murid Pak Kemis yang sudah mahir membuat topeng dan punya modal, juga mulai melepaskan diri. Mereka juga membuat sanggar sendiri-sendiri di Krebet, punya pekerja sendiri bahkan punya showroom sendiri. Bagi Kemis, ketika ada muridnya yang melepaskan diri dan mendirikan usaha sendiri, justru membuatnya senang dan bangga. Ia tak menganggap bekas muridnya menjadi pesaing

"Di sini kami selalu kembangkan prinsip kerja sama. Bahkan kita juga punya semacam koperasi dan paguyuban pengrajin," kata Kemis, pria kelahiran 14 Januari 1962 ini.


Tahun 1997-1998, para pengrajin batik kayu di Krebet yang mulai menjamur, kembali mendapat berkah. Saat terjadi lonjakan nilai dolar, para pemburu barang kerajinan berduyun-duyun datang ke Krebet. Mereka datang dari Jakarta, Bali, dan tentu saja Yogyakarta sendiri. Kebetulan pusat kerajinan batik kayu belum ada di tempat lain.

"Bisa dibilang kami seolah ketiban rejeki karena saat itu kampung kami menjadi sangat ramai. Dan itu membuat warga di sini semakin antusias untuk menjadikan kerajinan batik kayu sebagai mata pencaharian," kata Kemiskidi yang sudah mengajari lebih dari 200 orang cara membuat topeng kayu, batik kayu dan kerajinan kayu lainnya.


Saat ini, bukan hanya warga Dusun Krebet saja yang mengandalkan hidup pada kerajinan kayu. Dusun-dusun lain di sekitar Krebet yang juga tandus dan gersang seperti Dusun Pringgading, Dadabong, Kabokan dan Dusun Petung, warga desanya juga ikut mengandalkan hidup dari kerajinan ini.

Menurut Kemiskidi yang lantas dipercaya menjadi Kepala Dusun Krebet, saat ini di kawasan Desa Wisata Krebet terdapat 45 sanggar kerajinan dan 20 showroom. Lebih dari separuh warga Krebet ikut bekerja di sektor ini. Itu belum termasuk pekerja lain yang datang dari luar Bantul seperti dari Klaten, Gunungkidul, Magelang atau yang lain. Itu juga belum termasuk warga Krebet yang lantas membuat homestay dan buka warung lantaran tidak sedikit turis yang menginap di Krebet untuk belajar membuat patung.


"Ini juga belum termasuk mitra usaha kami yang tersebar di berbagai tempat. Sebab setiap mendapat order, kami pasti melibatkan mitra dari luar seperti di Gunungkidul kecamatan-kecamatan lain di Bantul," lanjut Kemiskidi yang pernah mengikuti pameran di Dubai UEA dan Shanghai China ini.


Perputaran uang di Dusun Krebet sangat tinggi mengingat Krebet adalah kampung tandus dan berada di atas bukit. Dalam sebulan, uang yang berputar dari usaha kerajinan batik kayu mencapai lehih dari Rp 700-an juta. Sementara Kemiskidi sendiri yang omset usahanya paling besar, mencapai Rp 50 juta hingga Rp 80 juta per bulan.


Kemiskidi adalah salah satu finalis Danamon Award 2011

Sumber: http://www.danamonaward.org/index/finalis/2/finalis%20ke-2.html










No comments:

Post a Comment