Saturday, January 21, 2012

Tidak ( perlu) tunggu tua untuk mulai berbagi


Gempuran iklan yang sangat persuasif ternyata tidak selalu berhasil mendorong orang-orang muda untuk hidup konsumtif. Ada juga orang muda yang punya banyak duit, mandiri, pergaulan luas, namun lebih memilih untuk mendedikasikan diri ke hal-hal sosial daripada menghabiskan waktu di dugem (dunia gemerlap) dengan teman-temannya.
"Bagaimana mau dugem jika waktu untuk kerja saja sering saya pakai untuk kerja sosial ini. Habis bagaimana lagi, anak-anak itu butuh hiburan dan biaya," kata Andi Lim (29), seorang desainer interior yang memiliki perusahaan sendiri. Dia bersama dua temannya yang lain, Vanesa Wen (30) dan Prasetyo Boogie (30), menjadi sukarelawan yang menghibur anak-anak penderita kanker di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan RS Dharmais. Anak-anak yang mereka hibur itu adalah anak-anak dari kalangan menengah bawah, dan tidak punya cukup uang untuk sekadar mengurangi rasa sakit.
Adapun Elizabeth Widjaja (34) mengaku tidak punya waktu sama sekali karena dirinya sibuk menjadi pengelola sebuah TK bagi anak-anak yang tidak mampu.
"Banyak orang jalan-jalan liburan pada bulan Juni-Juli, saya justru tidak bisa. Di kedua bulan itu saya lagi sibuk-sibuknya melakukan acara pelepasan murid, menyusun kurikulum, dan penerimaan murid baru. Bagaimana bisa jalan-jalan," kata Eli, panggilan dia sehari-hari.
Eli adalah pemilik sekaligus pengelola Kelompok Bermain dan Taman Kanak-kanak Pelangi yang terletak di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Sekolah ini memakai ruang tamu sebagai kelas bagi 55 murid yang belajar di sana.
"Saya melihat, ruang tamu saya yang begitu besar ternyata tidak ada fungsinya. Setiap kali tamu datang, mereka masuk lewat garasi, lalu duduk di ruang tengah. Akhirnya, daripada tidak terpakai, saya pakai saja untuk sekolah gratis bagi anak-anak yang tidak mampu," kata Eli.
Eli tersentuh untuk membuat sekolah, karena walaupun dia tinggal di daerah elite, ternyata banyak keluarga yang kurang mampu tinggal di sekitar kawasan elite itu. Dia melihat, banyak anak yang mengalami kesulitan di SD karena mereka tidak melalui TK. "Saat ini tidak ada TK yang murah. Karena tidak mampu menyekolahkan, orangtua memilih membiarkan anak-anaknya bermain di luar," cerita Eli yang mulai menjalankan TK itu sejak tahun 2003.
Ketika Eli memutuskan rumahnya dijadikan sekolah, dia langsung pergi ke RT, RW, dan Kelurahan untuk minta izin. Dia juga mencari sebuah yayasan yang bisa memasok guru ke sekolah itu. "Saya tidak mengurus izin resmi karena saya tidak punya dana untuk itu. Sekolah saya ini boleh dibilang gratis, dan sponsor utamanya adalah suami saya. Tujuan saya hanya mengisi anak- anak dengan sesuatu yang positif, sama sekali tidak mencari keuntungan materi," tegas istri seorang vice president di sebuah perusahaan modal asing ini.
Eli tidak hanya memberikan bermacam kegiatan untuk melatih motorik halus anak-anak. Dia juga mengenalkan anak-anak dengan kegiatan luar ruang. Dia membolehkan anak-anak itu latihan berenang di kolam renang pribadinya. Selain itu, setiap akhir tahun ajaran, anak kelas C mengadakan kemping bersama selama tiga hari dua malam di halaman kosong samping rumah Eli. "Ide awalnya adalah membawa anak-anak jalan- jalan. Pertama kali kami pergi ke Ragunan, karena biayanya murah. Setelah itu kami bingung mau ke mana lagi, karena tiket masuk di tempat lain mahal semua. Akhirnya, saya beli saja dua buah tenda besar, lalu anak-anak itu saya ajak kemping. Ternyata, walau mereka sering main di luar, kegiatan kemping sangat mengasyikkan buat mereka," cerita Eli.
Eli tidak hanya mengisi hal-hal yang positif pada anak- anak saja. Dia juga tergerak memberdayakan orangtua yang mengantar anak sekolah dengan membuat berbagai macam benda dari barang bekas. "Ketika sekolah sudah berlangsung enam bulan, saya lihat banyak ibu-ibu yang ngerumpi saja ketika menunggu anak. Akhirnya, saya putar otak, daripada bengong dan ngobrol yang tidak jelas, lebih baik mereka membuat sesuatu. Bahan baku saya sediakan, mereka hanya tinggal belajar bagaimana membuatnya. Sekarang, banyak sekali yang telah dibuat oleh ibu- ibu itu. Celengan, tempat sepatu, pin, gantungan kunci, hiasan magnet, dan sebagainya. Waktu ada Festival Jalan Kemang, barang-barang itu banyak yang terjual. Uangnya, ya, buat ibu- ibu," kata Eli yang memang sejak remaja senang menjadi sukarelawan di panti-panti asuhan.
Eli sudah menghitung, biaya operasional untuk kegiatannya ini memerlukan dana sekitar Rp 65 juta setahun. Dana ini sebagian besar diambil dari gaji suami. Sisanya, beberapa kali Eli mendapat bantuan dari teman- temannya.
Penderita kanker
Jika Eli sehari-hari disibukkan mengurus murid dan orangtua murid, Andi, Boogie, dan Vanesa banyak menghabiskan waktu di RSCM dan RS Dharmais sejak tahun 2003. Mereka datang untuk memompa semangat anak- anak yang menderita kanker dan keluarganya.
"Meskipun hanya kunjungan, tetapi anak-anak dan keluarganya sangat bahagia. Padahal kami tidak saling kenal. Jika kebetulan kami membawa artis yang mau ikutan, biasanya keluarga pasien sangat terhibur," ujar Boogie yang sehari-hari bekerja sebagai manajemen artis.
Andy mengaku tersentuh melihat penderitaan anak-anak itu karena mereka hanya mendapatkan fasilitas yang minimal. "Mereka menjalani kemoterapi dengan fasilitas seadanya. Setelah kemo, mereka tidak diberi obat pengurang rasa sakit karena obat itu sangat mahal. Bayangkan, orang dewasa saja kesakitan, apalagi anak-anak kecil itu," kata Andi yang bersyukur karena sembuh dari sebuah penyakit gara-gara malpraktik.
Vanesa mengatakan, bantuan yang mereka berikan dibagi dalam dua bentuk. Jika penderita tidak memiliki angka harapan hidup yang tinggi, mereka membantu dalam bentuk hiburan atau perbaikan nutrisi. Sementara untuk penderita yang masih memiliki angka harapan hidup cukup tinggi, bantuan lebih diarahkan untuk pembelian obat-obatan, termasuk obat pembunuh rasa sakit.
"Ada empat anak yang telah kami tolong. Tetapi tiga di antaranya sudah dipanggil Yang Kuasa. Untungnya, sebelum meninggal, mereka masih bisa bermain dengan boneka yang kami berikan. Tidak ada peristiwa yang lebih indah selain melihat mereka tersenyum saat main boneka itu," kata Vanesa yang berprinsip hidup harus mempunyai makna bagi orang lain.
Mereka bertiga mengakui, dana untuk melakukan kegiatan itu cukup besar. Selama ini dana itu berasal dari kantong pribadi mereka. Namun, mereka melihat kebutuhan untuk membeli obat- obatan semakin tinggi. Apalagi anak yang minta bantuan juga semakin banyak. Akhirnya, minggu lalu, mereka melakukan konser musik untuk mengumpulkan dana. Untuk itu, akhirnya mereka membentuk Yayasan Untuk Cinta, agar lebih mudah jika melakukan kegiatan pengumpulan dana.
"Dana yang terkumpul mencapai Rp 140 juta kotor, yang terkumpul dari donasi dan penjualan tiket. Banyak artis yang mendukung, dan mereka tidak minta bayaran. Kami melihat, sebenarnya banyak sekali orang yang mau membantu kerja amal, tetapi mereka tidak tahu caranya," kata Boogie, anak seorang dokter bedah plastik yang sejak kecil terbiasa melihat ayahnya membebaskan biaya pengobatan bagi pasien tidak mampu

No comments:

Post a Comment