Wednesday, March 14, 2012

Liputan Klinik Umiyah di Jurnal Nasional, 10 Maret 2012.


Klinik Ummiyah, layanan kesehatan berbasis sedekah
Jurnal Nasional | Sabtu, 10 Mar 2012
   LAYANAN kesehatan murah, mudah diakses kelompok miskin, ternyata bukan sekadar mimpi. Di Purworejo, tepatnya Klinik Umiyah, siapa pun pasien tak repot berpikir soal biaya pengobatan untuk membayar layanan hanya perlu memberikan sedekah semampunya. Pendek kata, tak ada kata mahal dalam layanan kesehatan bagi pasien.
“Klinik ini awalnya rumah bersalin, memberikan pelayanan kepada kelompok masyarakat miskin yang tak punya biaya untuk berobat. Sekarang berkembang menjadi Klinik Umiyah,” kata Gunawan Setiadi, satu penggagas Klinik Umiyah.
Latar belakang layanan berbasis sedekah ini, terinspirasi dari banyak keluhan soal biaya pengobatan yang mahal, kesulitan mengakses layanan kesehatan hingga mengurus jaminan kesehatan repot. Klinik Umiyah, ingin menjawab masalah-masalah pasien terkait kesulitan biaya pengobatan. “Awalnya banyak pihak yang mencibir langkah kami, tapi hingga dua tahun berdiri ternyata operasional klinik terus berkembang,” ujar dia.
Berdiri sejak 2010, klinik ini siap melayani pasien datang. Mereka memiliki satu tenaga dokter spesialis, tiga dokter umum, empat perawat dan bidan senior. Lalu, dua tenaga medis dan satu asisten apoteker. Tiap hari rata-rata kunjungan pasien 20-30 orang per hari atau dalam satu bulan 700 pasien. “Rata-rata pasien dari sekitar klinik dan sekitar Purworejo. Banyak kelompok miskin tak masuk skema jaminan kesehatan masyarakat memanfaatkan layanan kami.”
Lokasi klinik di jalur lingkar utara Kota Purworejo. Sayangnya, untuk mengakses ke lokasi, jalanan provinsi rusak parah, penuh lubang. Bangunan berdiri di atas lahan 1.900 meter persegi itu terdiri dari dua ruang rawat inap, satu ruang bersalin, ruang periksa, dapur. Kini, pengelola membangun mushala dengan sumber dana dari sedekah dan amal jariyah. Siti Fatimah, salah satu keluarga pasien rawat inap menuturkan rasa bersyukur bisa mendapatkan pelayanan murah. Dia tengah menunggu suami, Marsudi yang mengeluh sakit kepala. “Ongkos lebih murah di sini daripada di rumah sakit lain, perawat ramah dan ruangan bersih. Tak pusing berpikir soal biaya.”
Marsudi, menuturkan pernah dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan. Hal yang paling menjengkelkan ketika datang ke rumah sakit, pertanyaan pertama yang diajukan siapa yang menanggung biaya perawatan. “Kalau tidak pegang duit, hati tidak tentram, sakit malah tambah lama. Beda dengan di sini, ketika datang pelayanan jauh lebih ramah, melayani dengan lebih tulus,” tuturnya.
Begitu datang ke Klinik Umiyah, dia mendapatkan pelayanan ramah dan tulus. Sakit kepala dengan gejala pusing-yang dialami, dokter di klinik, menyarankan istirahat karena kemungkinan ada gejala vertigo. “Di sini saya tak berpikir soal biaya, semalam di sini saya merasa jauh lebih enak. Kalau di rawat rumah sakit masih berpikir besok berapa saya harus bayar.”
Padmi Bekti Lestari, dokter umum alumni Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Solo ini mengatakan, pengelolaan keuangan untuk membiayai pengobatan pasien secara terbuka. Seluruh pemasukan klinik dari kota sedekah dicatat dan dipublikasikan. “Saya bekerja juga di RS swasta, ini pengabdian ke masyarakat. Saya tahu bagaimana pelayanan rumah sakit yang selalu bergantung dengan uang. Besar sekali biaya yang harus dikeluarkan pasien bahkan untuk luka yang sederhana.”
Meski mendapatkan gaji dokter lumayan di RS swasta, dia merasa lebih bermakna melayani pasien-pasien miskin. “Bekerja itu tak sekadar mendapatkan gaji besar tapi kesungguhan melayani. Yang pasti, seluruh tenaga kesehatan mendapat gaji standar upah minimum regional.” Soal pelayanan memang jadi nilai utama pengelola klinik. Seluruh tenaga medis yang bekerja sudah memahami dan bersikap santun dalam pelayanan ke pasien. “Niat bekerja di sini bagian dari ibadah. Ikhlas melayani.” n Much Faturrochman

No comments:

Post a Comment