Working Villages International (WVI) adalah sebuah organisasi nirlaba yang didirikan oleh Alex Petroff di tahun 2005. WVI berusaha mengubah pola kerja para petani di Kongo sehingga bisa lepas dari lingkaran kemiskinan.
Pada tahun 2006, ketika memulai proyeknya di lembah Ruzizi, bekas daerah pertanian subur yang rusak akibat perang saudara 1996-2004, banyak penduduk di daerah tersebut yang kekurangan pangan. Kini, dengan teknologi modern pertanian organik modern, kondisi ekonomi mereka membaik.
Model ketiga yang dikembangkan oleh WVI adalah desa pertanian dengan prinsip sebagai berikut: (a) pertanian besar seluas 10 acre sehingga bisa dikelola dengan teknologi modern dan lebih produktif; (b) WVI juga memakai prinsip desa mandiri sehingga semua warga desa bekerja untuk kebutuhan desa, sehingga tidak ada warga yang menganggur; (c) pertanian organik yang berkelanjutan (sustainable agriculture) dan (d) pemanfaatan teknologi tepat guna.
WVI membantu masyarakat lokal membangun desa mandiri di daerah pertanian terlantar melalui 5 tahap:
Saya kira pendekatan ini akan sulit diterapkan di Pulau Jawa karena penduduknya yang padat dan semua petani adalah petani kecil. Beberapa modifikasi diperlukan. Saya kira, bila kita kembangkan sebuah desa sebagai sebuah kesatuan, dengan pengembangan pertanian dan non-pertanian secara terpadu, dengan memakai teknologi modern yang sesuai dengan kondisi masyarakat, maka desa secara keseluruhan akan bisa meningkat kemakmurannya.
Pada tahun 2006, ketika memulai proyeknya di lembah Ruzizi, bekas daerah pertanian subur yang rusak akibat perang saudara 1996-2004, banyak penduduk di daerah tersebut yang kekurangan pangan. Kini, dengan teknologi modern pertanian organik modern, kondisi ekonomi mereka membaik.
Ada dua model pertanian di Afrika. Model pertama adalah pertanian kecil sederhana yang semua kegiatannya dilakukan secara manual. Pertanian model ini hanya bisa memberi penghasilan minimal dan membuat petani tetap miskin. Model kedua adalah pertanian besar yang dipunyai tuan tanah (biasanya keturunan kulit putih) yang mengandalkan teknologi import sehingga hanya memberi manfaat sedikit bagi penduduk lokal. Kedua model tersebut tidak akan mampu membuat petani lokal hidup sejahtera.
- Tahap pertama dengan mengembangkan pertanian tanaman pangan karena masalah kekurangan pangan merupakan masalah utama saat itu. Mereka membangun infrastruktur pertanian (yang rusak akibat perang), tempat penampungan dan penyimpanan hasil tanaman serta melatih penduduk lokal dengan teknologi pertanian organik modern.
- Tahap kedua adalah mengembangkan kemampuan konstruksi untuk membangun desa mandiri milik mereka sendiri. WVI membantu penduduk mendirikan tungku pembuatan batu bata, usaha pertukangan kayu, dll untuk membangun perumahan bagi 5000-7000 warga desa.
- Tahap ketiga adalah mengembangkan kemampuan penduduk desa dalam bidang non pertanian, seperti usaha tenun, tembikar, roti serta usaha kebutuhan sehari-hari yang dibutuhkan penduduk desa.
- Tahap keempat penduduk lokal dilatih dalam hal perdagangan. Dalam tahap keempat ini, usaha kecil yang dibangun diserahkan kepada individu dengan syarat tidak boleh dijual, sedangkan usaha besar (seperti pabrik batu bata) diserahkan kepada pemerintahan desa.
- Tahap kelima adalah tahap penyapihan dimana WVI hanya berfungsi sebagai penasehat. Semua kegiatan ekonomi sudah diserahkan dan dijalankan oleh penduduk desa. Pada tahap ini perekonomian desa sudah bisa berjalan secara mandiri.
Saya kira pendekatan ini akan sulit diterapkan di Pulau Jawa karena penduduknya yang padat dan semua petani adalah petani kecil. Beberapa modifikasi diperlukan. Saya kira, bila kita kembangkan sebuah desa sebagai sebuah kesatuan, dengan pengembangan pertanian dan non-pertanian secara terpadu, dengan memakai teknologi modern yang sesuai dengan kondisi masyarakat, maka desa secara keseluruhan akan bisa meningkat kemakmurannya.
No comments:
Post a Comment