Di Amerika, hampir disetiap kota mempunyai "dapur umum" yang menyediakan makan bagi para tuna wisma. Dapur umum yang memberikan makan gratis sederhana tersebut biasanya dikelola oleh sebuah organisasi sosial. Dibanyak kota, organisasi sosial juga menyediakan rumah singgah (ruang untuk tidur dimalam hari) bagi para tuna wisma tersebut. Dapur umum dan rumah singgah bisa berjalan karena adanya dukungan dari para dermawan di kota kota tersebut.
Di Purworejo, kota kelahiran saya, juga ada tuna wisma. Namun tidak ada "dapur umum" atau rumah singgah. Bagaimana para gelandangan tersebut bisa hidup?
Seorang penjual nasi di pasar Baledono, Purworejo setiap hari memberi makan 3 perempuan tua yang hidup menggelandang. Ibu penjual nasi tersebut sudah sejak beberapa lama berjualan nasi dengan lauk pauk sederhana. Setiap sore hingga malam hari, dia memanfaatkan emperan toko sebagai tempat mangkalnya. Suaminya merantau ke Malaysia, bekerja di sebuah penebangan hutan. Kemurahan hatinya, mendorongnya untuk memberikan sebungkus nasi kepada 3 perempuan tua yang setiap malamnya tidur diemperan toko didekat warung nasinya.
3 perempuan tua tersebut hidup sebatang kara, tidak punya tempat tinggal dan usianya sudah diatas 50 tahun. Hidup penuh kesusahan membuat wajahnya kelihatan lebih tua dari umur sebenarnya. Mereka tidur diemperon toko di kompleks pasar. Hidupnya mengandalkan belas kasihan para pedagang di pasar Baledono.
Saya tidak tahu, model mana yang lebih baik untuk menolong para tuna wisma tersebut. Model dapur umum yang terorganisir seperti di Amerika, atau model kedermawanan ibu penjual nasi. Yang pasti, akan sangat baik bila kita bisa bersama bergabung dengan ibu penjual nasi tersebut dalam menolong para tuna wisma.
Kita harus punya tim sosial di Purworejo
ReplyDelete- Cara kerja si ibu penjual nasi lebih cocok utk disini karena dia tidak perlu menyediakan dana khusus...Nanti kapan2 di Jakarta kita bisa ketemu untuk ngobrol2..
Salam,
Lanny