Julia Wise |
Bagi Julia Wise, pertanyaannya bukan seberapa banyak yang harus dia sumbangkan' tetapi 'seberapa banyak yang harus dia pakai, dan sisanya dia sumbangkan'.
Tahun lalu pada umur 24 tahun, Julia Wise menghabiskan $ 22,000 untuk biaya hidupnya dan menyumbangkan $ 45,000. Benar benar luar biasa. Agar bisa menyumbang, Julia Wise dan suaminya hidup sederhana. Mereka hidup disebuah apartemen kecil (studio) dan mengisi perabotan rumahnya dengan barang barang bekas.
Di Indonesia ada Bu Sumirah yang riwayat hidupnya saya kutip dari http://namakugusti.wordpress.com/2010/07/27/berguru-dari-bu-sumirah-tukang-pijat/
SURABAYA – Menjadi tukang pijat belumlah cukup. Sumirah nyambi jadi tukang sol sepatu, penjahit, dan pekerja pabrik. Sebagian hasil keringatnya itu ia gunakan untuk membangun madrasah, masjid, mushala, dan mengurus anak yatim. Ternyata, beramal tidak harus menunggu kaya.
Penolakan halus langsung diucapkan Sumirah, pimpinan Panti Asuhan Yatim Piatu Amanah, Rungkut, Surabaya, saat akan diwawancarai Surya untuk tulisan ini. “Saya ini apalah mbak, kok pakai diwawancarai. Masih banyak yang lebih bagus, lebih pintar, dan lebih hebat,” elaknya saat ditemui di Panti Asuhan Amanah sekaligus rumahnya di Jalan Pandugo Gg II Nomor 30 B, Rungkut, Senin (15/9).
Secara materi, Sumirah memang belum bisa dibandingkan dengan pengusaha sukses. Namun, kekayaan hati Sumirah mungkin hanya dimiliki segelintir orang pada abad ini.
Perempuan kelahiran 3 April 1965 ini tak cukup mengelola panti asuhan. Ia mendirikan madrasah, masjid, dan mushala di kampungnya, Pacitan. Mungkin juga sulit dipercaya, Sumirah menghidupi anak-anak yatim dengan menjadi tukang pijat panggilan.
Rasa empati Sumirah sudah terpupuk sejak kecil. Ia terbiasa bergaul dengan anak-anak yatim asuhan almarhum Atmorejo, ayahnya. “Saat itu ada 100 anak yatim dan anak-anak lain yang berlatih ilmu kanuragan (kebatinan) di rumah. Mereka semua tinggal di rumah,” kata ibu lima anak ini.
Secara materi Sumirah kecil tercukupi, tetapi didikan ayahnya tidak membuatnya manja. Bahkan, sejak kelas II SD ia sudah menjadi tukang pijat alternatif, warisan keahlian turun temurun. Duitnya “ditabung” di mushala di Desa Kembang, Kecamatan Pacitan.
“Saat itu saya masih ingat nasihat ayah, ‘Kalau kamu punya rezeki, 50 persen untuk kamu dan 50 persen lagi untuk mushala. Pasti rezeki itu akan barokah’,” ujarnya.
Pesan almarhum ayahnya terus diingat Sumirah. Setiap rupiah yang dihasilkan selalu disisihkan untuk mushala. Begitu pula ketika orderan memijat merambah hingga Madiun, bahkan Semarang.
Saat SMP Sumirah dan kakaknya hijrah ke Jakarta. Di kota megapolitan ini Sumirah tidak tertarik mencicipi pekerjaan lain. Kebetulan, kemampuan memijatnya tersohor hingga ke Jawa Barat. Pada 1986 Sumirah dan suami mencari peruntungan di Surabaya. Di kota ini selain tetap memijat, ia bekerja di pabrik PT Horison Sintex (sekarang Lotus). Ia hanya masuk pabrik hari Selasa, Rabu, dan Kamis.
Namun, dua profesi itu belum cukup. Merasa waktunya masih senggang, Sumirah mencari pekerjaan sampingan. Ia menjadi tukang sol sepatu, menjahit baju, dan tukang keriting rambut. “Karena pekerjaan banyak, rata-rata saya hanya tidur dua jam sehari. Mijat saja sehari hingga 20 kali,” katanya sambil tersenyum.
Kerja keras itu impas dengan hasilnya. Sehari, tidak kurang ia mengantongi Rp 2 juta. Namun, limpahan uang itu tidak membuatnya mabuk. Uang itu dialirkan untuk membangun madrasah, mushala-mushala, dan masjid di desanya. Sumirah enggan menyebut nama mushala itu. “Nanti saya ndak diridai kalau pamer,” katanya.
Suatu ketika, Sumirah pulang kampung. Jalan di desanya tidak bisa dilewati karena rusak berat. Prihatin, ia dan suaminya memperkeras seluruh jalan itu dengan paving blok. Walhasil, rencana naik haji seketika batal karena simpanan Rp 60 juta habis untuk ongkos paving.
“Saya tidak pernah menyimpan uang di bank. Bukan apa-apa, tapi karena tanda tangan saya tidak pernah sama. Itu tentu tidak boleh kan?” katanya.
Hidup Sumirah teruji saat dia melihat banyak anak telantar di sekitar kampungnya. Dia nekat menampung 54 anak yatim itu di rumahnya yang berukuran 2,5 meter x 13 meter. “Sebagian dari mereka saya koskan di depan rumah. Saya sewa tiga kamar,” katanya.
Masalah datang ketika anak asuhnya ndableg dengan menghabiskan air dan sabun milik ibu kos. Sekitar pukul 21.00 anak-anak itu diusir. “Mereka saya tampung di rumah saya. Jadi, mereka tidur sambil duduk,” kata Sumirah.
Esoknya, Sumirah mencari kontrakan untuk mereka. Tawaran kontrakan Rp 4 juta ditolak karena Sumirah tak punya duit. Di tengah kesulitan ia berdoa. Mendadak ada semacam dorongan untuk menghubungi Pak Triyono, dermawan dari Barata Jaya, Surabaya. Sumirah kaget, Pak Triyono memberinya zakat maal (zakat kekayaan) sejumlah Rp 4 juta. “Agar tidak mengganggu penduduk kampung, pagi-pagi sekali kami pindahan,” katanya.
Panti Asuhan Amanah kini menampung 60 anak yatim, dibangun Sumirah pada 1996. Mereka kanak-kanak hingga remaja. Belum lama ini Sumirah mengasuh balita yang ditinggal mati bapaknya. Amelia, balita itu, sekarang berumur sembilan bulan. “Oh ya, Saya sudah menikahkan 13 anak di sini, 16 Oktober nanti saya mantu lagi,” ujarnya dengan mata berbinar.
Untuk mencukupi hidup anak asuhnya, Sumirah tidak mengandalkan bantuan donatur yang sebagian adalah pelanggan pijatnya. Selepas subuh, anak yatim itu berdagang kelapa kupas, sayuran, dan bumbu. Sumirah dan suami juga membuka toko kelontong.
Mengakhiri kisahnya, Sumirah sempat bilang, “Pergunakanlah mata hati. Banyak orang pintar yang belum tentu mengerti.”
Berapa penghasilan anda dan berapa yang sudah anda sedekahkan?
No comments:
Post a Comment