"Saya belum kaya. Kalau saya kaya, saya juga akan bersedekah". Begitu salah satu alasan utama kenapa orang tidak mau atau jarang bersedekah. Kebanyakan orang berpikir bahwa hanya orang kaya yang mau bersedekah. Kalau tidak kaya, setidaknya hidupnya sudah berkecukupan, baru mereka mau bersedekah.
Bai Fang Li |
Contoh orang luar biasa yang baru saja saya dapatkan informasinya adalah Bai Fang Li. Saking hebatnya Bai Fang Li sampai sampai penulis terkenal Paulo Coelho mengaguminya dan menuliskan riwayat hidup Bai Fang Li diblognya.
Bai Fang Li adalah seorang tukang becak tua dikota Tianjin, China yang menyedekahkan hasil kerjanya untuk membantu biaya sekolah 300 anak kurang mampu. Hebatnya lagi, dia mulai menyedekahkan hasil keringatnya ketika dia sudah berumur 74 tahun. 18 tahun terakhir sebagai tukang becak dia sedekahkan hasilnya untuk pendidikan anak kurang mampu.
Agar semakin banyak uang yang dia sedekahkan, dia sewa kamar sederhana, makan sangat sederhana, dan menambal bajunya yang robek. Semua itu dia lakukan dengan ikhlas, tanpa pamrih. Pada tahun 2005, Pemerintah Kota Tianjin memberikan penghargaan kepada Bai Fang Li sebagai seorang warga negara teladan.
Contoh kedua, yang tidak kalah hebatnya adalah ibu Sumirah yang pengalaman hidupnya pernah dimuat di Kompas. Bagi Sumirah menjadi tukang pijat belumlah cukup. Sumirah nyambi jadi tukang sol sepatu, penjahit, dan pekerja pabrik. Sebagian hasil keringatnya itu ia gunakan untuk membangun madrasah, masjid, mushala, dan mengurus anak yatim di Panti Asuhan Amanah sekaligus rumahnya di Jalan Pandugo Gg II Nomor 30 B, Rungkut, Senin (15/9).
Secara materi, Sumirah memang belum bisa dibandingkan dengan pengusaha sukses. Namun, kekayaan hati Sumirah mungkin hanya dimiliki segelintir orang pada abad ini. Perempuan kelahiran 3 April 1965 ini tak cukup mengelola panti asuhan. Ia mendirikan madrasah, masjid, dan mushala di kampungnya, Pacitan. Mungkin juga sulit dipercaya, Sumirah menghidupi anak-anak yatim dengan menjadi tukang pijat panggilan.
Secara materi Sumirah kecil tercukupi, tetapi didikan ayahnya tidak membuatnya manja. Bahkan, sejak kelas II SD ia sudah menjadi tukang pijat alternatif, warisan keahlian turun temurun. Duitnya “ditabung” di mushala di Desa Kembang, Kecamatan Pacitan. “Saat itu saya masih ingat nasihat ayah, ‘Kalau kamu punya rezeki, 50 persen untuk kamu dan 50 persen lagi untuk mushala. Pasti rezeki itu akan barokah’,” ujarnya.
Kerja keras itu impas dengan hasilnya. Sehari, tidak kurang ia mengantongi Rp 2 juta. Namun, limpahan uang itu tidak membuatnya mabuk. Uang itu dialirkan untuk membangun madrasah, mushala-mushala, dan masjid di desanya. Sumirah enggan menyebut nama mushala itu. “Nanti saya ndak diridai kalau pamer,” katanya.
Suatu ketika, Sumirah pulang kampung. Jalan di desanya tidak bisa dilewati karena rusak berat. Prihatin, ia dan suaminya memperkeras seluruh jalan itu dengan paving blok. Walhasil, rencana naik haji seketika batal karena simpanan Rp 60 juta habis untuk ongkos paving.
Contoh ketiga adalah Toby Ord, 31 tahun, mahasiswa S3 jurusan filsafat di Universitas Oxford, Inggris. Setiap bulannya, sebagai mahasiswa, dia hanya hidup (diluar sewa rumah, tabungan dan pajak) dengan uang sekitar 336 poundsterling, namun menyedekahkan 833 poundsterling untuk kegiatan amal.
Toby Ord mendirikan organisasi Giving What We Can dan mengajak orang untuk menyumbangkan 10% penghasilannya untuk kegiatan amal sepanjang hidupnya. Tahun kemarin Toby Ord menyumbangkan sepertiga gajinya dan 15,000 poundsterling tabungannya untuk amal. Agar bisa bersedekah, dia mengisi apartment dengan peralatan sederhana, mengurangi makan direstaurant dan tidak melakukan kegiatan sosial yang menyedot banyak dana.
Secara materi, Sumirah memang belum bisa dibandingkan dengan pengusaha sukses. Namun, kekayaan hati Sumirah mungkin hanya dimiliki segelintir orang pada abad ini. Perempuan kelahiran 3 April 1965 ini tak cukup mengelola panti asuhan. Ia mendirikan madrasah, masjid, dan mushala di kampungnya, Pacitan. Mungkin juga sulit dipercaya, Sumirah menghidupi anak-anak yatim dengan menjadi tukang pijat panggilan.
Secara materi Sumirah kecil tercukupi, tetapi didikan ayahnya tidak membuatnya manja. Bahkan, sejak kelas II SD ia sudah menjadi tukang pijat alternatif, warisan keahlian turun temurun. Duitnya “ditabung” di mushala di Desa Kembang, Kecamatan Pacitan. “Saat itu saya masih ingat nasihat ayah, ‘Kalau kamu punya rezeki, 50 persen untuk kamu dan 50 persen lagi untuk mushala. Pasti rezeki itu akan barokah’,” ujarnya.
Kerja keras itu impas dengan hasilnya. Sehari, tidak kurang ia mengantongi Rp 2 juta. Namun, limpahan uang itu tidak membuatnya mabuk. Uang itu dialirkan untuk membangun madrasah, mushala-mushala, dan masjid di desanya. Sumirah enggan menyebut nama mushala itu. “Nanti saya ndak diridai kalau pamer,” katanya.
Suatu ketika, Sumirah pulang kampung. Jalan di desanya tidak bisa dilewati karena rusak berat. Prihatin, ia dan suaminya memperkeras seluruh jalan itu dengan paving blok. Walhasil, rencana naik haji seketika batal karena simpanan Rp 60 juta habis untuk ongkos paving.
Contoh ketiga adalah Toby Ord, 31 tahun, mahasiswa S3 jurusan filsafat di Universitas Oxford, Inggris. Setiap bulannya, sebagai mahasiswa, dia hanya hidup (diluar sewa rumah, tabungan dan pajak) dengan uang sekitar 336 poundsterling, namun menyedekahkan 833 poundsterling untuk kegiatan amal.
Toby Ord mendirikan organisasi Giving What We Can dan mengajak orang untuk menyumbangkan 10% penghasilannya untuk kegiatan amal sepanjang hidupnya. Tahun kemarin Toby Ord menyumbangkan sepertiga gajinya dan 15,000 poundsterling tabungannya untuk amal. Agar bisa bersedekah, dia mengisi apartment dengan peralatan sederhana, mengurangi makan direstaurant dan tidak melakukan kegiatan sosial yang menyedot banyak dana.
Sekarang ini, sudah ada sekitar 126 anggota Giving What We Can. Diperkirakan mereka akan bisa menyumbang sekitar 35 juta dollar sepanjang hidup para anggotanya.