Kamis, 24 November 2011
Allahu Akbar, Allahu Akbar Azan subuh terdengar merdu. Sejurus kemudian, satu persatu santri bergegas bangun. Mereka mengambil air wudhu di dua drum kecil yang terletak di samping asrama. Di sini tak ada kran air. Setelah itu, mereka beranjak ke mushola di lantai dua di sebuah gedung yang tak berdinding. Angin pun berhembus dari balik pepohonan yang menusuk kulit. Tapi, santri tak menghiraukannya. Dengan agak terkantuk-kantuk, santri yang berusia sekitar 5 hingga 15 tahun ini shalatqabliyah shubuh.
Muhammad Syukur, sang imam duduk di shaf belakang mengawasi santri. Matanya begitu awas mengecek satu persatu santrinya. Ia tampak sangat khawatir bila ada satu saja santrinya yang ghaib. Baginya, itu pelanggaran berat. “Sudah bangun semua, Mush?” tanyanya. “Sudah, ustadz,” jawab Musta’in salah seorang pengasuh. Setelah komplit, Syukur memberi komando: “Aqimish shalah.” Seorang santri lalu berdiri daniqamat. Shalat subuh berlangsung khusuk.
Usai shalat, Jalil, santri SMP maju ke depan. Kali ini ia giliran membacakan hadist. Karena tak ada listrik, Jalil menggunakan senter kecil. Biasanya, setiap subuh, genset untuk mengaliri listrik hidup, tapi malam tadi tidak. “Habis bensinnya, jadi gelap-gelapan,” tutur seorang santri. Jalil, santri asal Sanggau, Kalimantan Barat ini menyorotkan lampu senternya ke sebuah buku kecil kumpulan hadist. Ia membacakan keutamaantholabul ilmi.
“Barangsiapa yang berjalan untuk menuntut ilmu, maka Allah SWT akan memudahkan baginya jalan menuju surga,” demikian hadist yang dibacakan Jalil. Tampak santri mendengarkan penuh khusuk. Setelah itu, Jalil memimpin zikir al-matsurat dan diteruskan dengan tilawah hingga matahari terbit.
Mereka adalah penghuni Pesantren Hidayatullah Sanggau, Kalimantan Barat. Letaknya sekitar 12 KM atau 30 menit dari pusat Kota Sanggau. Dari Pontianak, bisa mencapai sekitar 6 jam. Cukup jauh memang. Apalagi, ditambah jalan yang sebagian rusak. Pesantren ini terletak di desa Penyeladi, Kecamatan Kapuas.
Boleh dibilang, daerah ini masih terisolir. Selain dilalui Sungai Kapuas, pesantren ini dikelilingi hutan lebat. Di kanan-kiri pesantren, hanya pepohonan dan semak belukar. Bila malam tiba, suara jangkrik dan hewan hutan terdengar bak simfoni merdu. Ditambah lagi hembusan angin yang menusuk kulit. Parahnya lagi, belum ada listrik. Jadi, setiap malam, pesantren mengandalkan genset. Tak ada bensin berarti gelap-gelapan.
Adalah seorang Syukur, lelaki kelahiran Sulawesi Selatan 1974 yang berani melakukan ide “gila” itu. Ia merintisnya sekitar tahun 2009. “Ketika itu saya hanya mendapat tugas membuka Pesantren di Sanggau, Kalbar. Karena ini amanah, ya saya harus jalankan,” terangnya.
Dari Pontianak, Syukur ketika itu hanya bermodal Rp 200 ribu. Uang sebesar itu ludes hanya untuk mengontrak dan biaya hidup beberapa bulan. Selebihnya, ia pun harus berjuang sendiri. “Saya pernah setiap hari hanya makan tempe saja,” kenangnya.
Alhamdulillah, setelah beberapa kali menyosialisasikan niatanya membuat pesantren, masyarakat pun mendukungnya. Bantuan deras mengalir. Akhirnya, Syukur mendapat lahan kosong di pedalaman Kecamatan Kapuas sekitar 3 hektar lebih. “Benar-benar hutan belantara ketika itu,” ujarnya.
Lahan itu masih berupa hutan dan semak belukar. Tak ada apa-apa. Jangankan rumah, gubuk reot pun tak ada. Apalagi makanan, harus mencari sendiri. Tapi, rintangan itu tidak menyiutkan nyali Syukur untuk berjuang. Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang. Itulah filosofi perjuangan Syukur.
Dengan dibantu beberapa santrinya, Ramhat, Mustha’in, dan Yusuf, Syukur mulai membuka hutan. Pertama yang mereka buat adalah gubuk. Ia membuat gubuk dengan dinding daun rumbia dan atap seng. Jika musim hujan, air pun masuk ke dalam dari balik bilik daun rumbia. Setiap hari, Syukur dan santrinya membabat hutan. Ditebanginya pohon dan ditebasnya semak belukar. “Tangan ini sudah kapalan,” ujarnya.
Bila malam tiba, suasana gelap. Gubuk hanya diterangi lampu teplok. Terkadang mati bila tertiup angin kencang. Tapi, mereka tampaknya tak takut gelap, apalagi hantu. “Hantu malah yang takut kita,” selorohnya sedikit bergurau. Hanya ada babi yang setiap malam datang dan menghabisi singkong yang ditanam.
Usai terang, lahan itu dicangkulinya hingga rata. Padahal, kondisinya berbukit-bukit, seperti gundukan kecil. Hanya bermodal cangkul saja, gundukan itu diratakannya. “Setiap kali nyangkul, saya hanya berdoa agar ini menjadi amal shaleh,” harapnya. Setelah rata, barulan dibangun rumah seadanya.
Alhamdulillah, kini telah berdiri tiga bangunan sederhana. Satu untuk santri putri dan satunya lagi yang berlantai dua -dalam proses pembangunan- khusus untuk santri putra. Jumlah santrinya ada tiga puluh orang. Mereka ada yang sekolah SD, SMP, dan SMA. Seluruh biayanya ditanggung pesantren: mulai makan, asrama hingga sekolah. “Santri tinggal belajar saja,” kata Syukur.
Para santrinya kebanyakan berasal dari Kalimantan Barat. Rata-rata dari keluarga tidak mampu dan yatim piatu. Ada juga sebagian yang broken home. Bahkan, hingga kini ada santri yang tak tahu di mana rimba ayahnya.
Tidak hanya itu, beberapa santrinya ada yang mualaf. Orangtuanya yang asli Suku Dayak justru menyuruh anaknya ke pesantren. Kini, mereka menjadi muslim dan belajar Islam. Meski demikian, semangat belajar mereka tinggi. Lihat saja, mereka punya cita-cita yang tinggi. “Setamat Aliyah, saya ingin ke Surabaya, kuliah di sana. Saya mau jadi kiai,” kata Adi, siswa kelas 3 Aliyah di Sanggau.
Padahal, jarak sekolah mereka jauh, lebih dari 3 KM. Jika ada motor, pengasuh akan mengantar mereka satu persatu. Tapi, bila tidak sempat, mereka harus berjalan kaki berkilo-kilo meter jauhnya. Padahal, ada yang SD, masih kecil. “Saya pernah jalan kaki dari Pesantren hingga ke sekolah di Sanggau. Entah berapa jam lamanya,” kata Mustha’in yang kini jadi pengasuh.
Setiap hari, selain membina santri, Musthai’n bertugas mengantar santri-santrinya. Selain itu, ia dibantu Rahmat, ustadz asal Purwokerto, Jawa Tengah, bertugas menjual majalah dan menghimpun bantuan dari kota.
“Inilah yang bisa kami perbuat untuk Islam. Kita tak mengharapakn apa-apa, hanya ridha Allah SWT,” terang Syukur.
Syukur berharap, apa yang diperjuangkannya itu, kelak menuai hasil. Paling tidak, dari pesantren itu, akan lahir generasi Islam yang handal. Ia sendiri tak berharap banyak di dunia ini. “Kelak, di akhirat, pesantren inilah yang akan saya hadiahkan kepada Allah. ‘Allah, inilah karya saya,’” ujarnya.*
Rep: Syaiful AnshorRed: Cholis Akbar
sumber: http://www.hidayatullah.com/read/19894/24/11/2011/orang-orang-ikhlas-di-belantara-hutan-sungai-kapuas.html
No comments:
Post a Comment