Minggu, 11 Maret 2012 | 16:06 WIB
Bayar Biaya Rumah Sakit dengan Infaq
TEMPO.CO, Purworejo - Melintasi jalan penuh lubang dan kubangan air di Jalan Ring Road Utara, Lugosobo, Purworejo, Jawa Tengah perlu kehati-hatian pengendara. Di pinggir jalan itu ada sebuah klinik kesehatan umum dan pelayanan medis ibu hamil dan melahirkan.
Tidak jauh beda dengan klinik atau rumah sakit lainnya, klinik itu melayani pengobatan bagi para pasien. Yang membedakan adalah sebuah kotak kayu berwarna cokelat bertulisan "INFAQ".
Ternyata kotak itu adalah untuk menampung biaya pengobatan pasien selama pengobatan dan perawatan di klinik kesehatan itu. Biaya pengobatan memang tidak gratis. Tetapi pasien memberi infak sebagai biaya pengobatan secara suka rela. Ada yang memberi infak Rp 3.000 atau lebih. Namun bagi pasien yang sama sekali tidak punya uang, tidak memberi infak pun tidak masalah.
"Saya pasang alat KB (keluarga berencana)," kata Puji Wahyuni, 23 tahun, warga Desa Gebang, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, akhir pekan lalu.
Di Klinik Umiyah itu ia diperiksa oleh dokter, bidan dan perawat sebelum pemasangan alat KB. Sebelumya, ia mendaftarkan diri ke penerimaan pasien. Tidak serupiah pun ia keluarkan untuk mendaftar. Bandingkan jika pasien berobat ke rumah sakit umum milik negara ataupun swasta.
Di Klinik Umiyah itu, para pasien, baik yang rawat jalan maupun rawat inap, tidak harus pusing dengan biaya yang harus dikeluarkan. Baik untuk bayar dokter, biaya perawatan, menginap ataupun untuk biaya obat. Semuanya hanya dengan infak semampu pasien.
Celetukan orang miskin dilarang sakit memang terdengar menyakitkan mengingat biaya pengobatan terbilang mahal, terutama bagi orang miskin yang tidak mempunyai jaminan kesehatan, baik jaminan kesehatan sosial (jamkesos) jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) maupun jaminan persalinan (jampersal).
Di klinik itu pasien miskin yang sakit ditanggung oleh pengelola secara ikhlas. Meski miskin, jika sakit tetap mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa dipandang kelas ekonominya.
Siti fatimah, salah satu keluarga pasien menginap di klinik itu, menuturkan ia bersyukur adanya klinik yang bisa menampung keluarganya yang sakit tanpa harus dibebani biaya yang ia sendiri tidak mampu membayar. Marsudi sang suami yang sedang dirawat karena sakit kepala yang berkepanjangan bisa sampai pulih dengan pelayanan para petugas, baik dokter maupun perawatnya.
"Dokter dan perawatnya ramah dan kami tidak tambah pusing mikir biaya," kata Siti.
Padmi Bekti Lestari, dokter umum alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Surakarta tahun 2010, mengatakan pengelolaan keuangan untuk membiayai pengobatan pasien dilakukan secara terbuka. Seluruh pemasukan klinik yang berasal dari kota infak/sedekah dicatat dan dipublikasikan melalui website.
Ia menjelaskan, di rumah sakit umum, pasien harus mendaftar dengan biaya rata-rata Rp 6.000 sekali berobat, biaya dokter Rp 50 ribu atau lebih. Belum lagi biaya obat yang mencapai ratusan ribu. Di klinik ini para pasien hanya cukup memberi infak semampunya.
"Orang sakit harus sedia uang, bahkan sebelum masuk rumah sakit harus ada jaminan pembiayaan. Di kilinik ini pasien tidak terbebani itu," kata dia.
Menurutnya, yang menjadi dokter umum di klinik itu bekerja tidak sekadar mendapatkan gaji besar tapi juga kesungguhan dalam melayani. Bahkan ia rela honornya dipotong dari rumah sakit lain demi pengabdiaannya.
Klinik Umiyah merupakan gagasan dari Gunawan Setiadi, seorang dokter peneliti di WHO (World Health Organization). Saat berdiri dua tahun lalu klinik itu hanya melayani persalinan. Tetapi karena banyak masyarakat miskin yang tidak mempunyai kartu jaminan kesehatan, klinik itu dijadikan klinik umum yang melayani semua penyakit.
Ia berkisah, latar belakang berdirinya layanan berbasis sedekah dan infak ini terinspirasi dari banyaknya keluhan soal biaya pengobatan yang mahal, kesulitan mengakses layanan kesehatan, hingga repotnya mengurus jaminan kesehatan.
"Klinik Umiyah ingin menjawab masalah-masalah pasien karena kesulitan biaya pengobatan," kata Gunawan.
Di klinik ini tersedia 1 tenaga dokter spesialis, 3 dokter umum, 4 perawat dan bidan senior, 2 tenaga medis dan satu asisten apoteker. Setiap hari rata-rata kunjungan pasien sebanyak 20-30 orang. Jika dirata-rata per bulan ada 700 pasien, baik rawat inap, rawat jalan maupun ibu melahirkan.
Bangunan yang berdiri di atas luas tanah 1.900 meter persegi itu terdiri dari dua ruang rawat inap, satu ruang bersalin, ruang periksa, dapur. Kini pengelola tengah membangun musala yang dananya bersumber dari sedekah dan amal jariyah sejumlah pihak yang bersimpati.
Dalam satu bulan jumlah uang infak rata-rata Rp 5 juta hingga Rp 6 juta. Dibandingkan dengan biaya operasional klinik sangat jauh berbeda. Dalam satu bulan pengeluaran biaya operasional klinik antara Rp 23 juta hingga Rp 30 juta.
Dana itu untuk gaji dokter, bidan, perawat, listrik, obat dan lain-lain. Namun dengan sistem infak ini justru klinik itu sering mendapatkan bantuan dari berbagai pihak yang tidak mau disebutkan namanya. Dalam satu bulan dana dari sedekah para dermawan dan infak pasien rata-rata bisa mencapai Rp 60 juta.
Lalu bagaimana jika tidak ada sumbangan dari donator yang masuk, dari mana dana untuk membiayai operasional klinik? Pertanyaan itu dijawab Gunawan, “Awalnya kami khawatir, tapi sampai saat ini donator selalu ada bahkan banyak. Kami yakin bersama masyarakat miskin, Tuhan pasti memberi jalan," kata dia.
Ia menjelaskan, awal pendirian klinik tahun 2010 itu banyak orang yang menyindir, paling maksimal dua tahun klinik akan bangkrut. Namun kenyataannya sampai sekarang uang untuk operasional klinik itu masih surplus.
Pembiayaan di klinik itu bahkan sampai ada yang diberikan kepada pasien saat melahirkan jika memiliki kelainan dan harus dirujuk ke rumah sakit umum. Biayanya pun diberikan oleh pihak klinik bahkan mencapai jutaan rupiah. Pasien itu hanya mampu membayar Rp 300 ribu saja sebagai inifaknya. Tetapi itu merupakan infak yang tidak dipaksakan karena kesadaran keluarga pasien yang telah dibantu biaya kelahiran.
"Para tenaga medis di sini semuanya ikhlas meski gajinya tidak sepadan dengan gaji di rumah sakit lain. Tapi tabungan surga telah menanti," kata Gunawan yang pensiun dini dari jabatannya sebagai Kepala Perencanaan Kementerian Kesehatan itu.
Ia menuturkan, untuk menghemat biaya pasien yang mengalami penyakit dalam atau harus dioperasi, pihak klinik bekerja sama dengan ibu-ibu PKK di Purworejo. Pasien miskin tidak perlu mengurus asuransi jaminan kesehatan, tapi ibu-ibu PKK yang akan mengurus jaminan kesehatan.
Meskipun layanan dari tenaga medis dengan didasari keikhlasan, mereka tetap diberi gaji. Gaji pengelola klinik itu tidak sepadan dengan rumah sakit lain, tapi masih di atas upah minimum regional setempat.
Gunawan yang kelahiran Purworejo pada 1955 itu memberi petuah, dengan jalan bersedekah, Tuhan pasti akan mengganti sedekah itu dengan berlimpah. Ia mempelajari ilmu agama tidak dengan hati. Tapi dengan logika.
"Semua saya pelajari dengan ini," kata dia sambil menunjuk kepalanya. Ia mencari tahu lewat membaca referensi buku bagaimana cara Tuhan membagi rezeki. Kuncinya satu, yaitu berbagi dan bersedekah.
MUH SYAIFULLAH
Tidak jauh beda dengan klinik atau rumah sakit lainnya, klinik itu melayani pengobatan bagi para pasien. Yang membedakan adalah sebuah kotak kayu berwarna cokelat bertulisan "INFAQ".
Ternyata kotak itu adalah untuk menampung biaya pengobatan pasien selama pengobatan dan perawatan di klinik kesehatan itu. Biaya pengobatan memang tidak gratis. Tetapi pasien memberi infak sebagai biaya pengobatan secara suka rela. Ada yang memberi infak Rp 3.000 atau lebih. Namun bagi pasien yang sama sekali tidak punya uang, tidak memberi infak pun tidak masalah.
"Saya pasang alat KB (keluarga berencana)," kata Puji Wahyuni, 23 tahun, warga Desa Gebang, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, akhir pekan lalu.
Di Klinik Umiyah itu ia diperiksa oleh dokter, bidan dan perawat sebelum pemasangan alat KB. Sebelumya, ia mendaftarkan diri ke penerimaan pasien. Tidak serupiah pun ia keluarkan untuk mendaftar. Bandingkan jika pasien berobat ke rumah sakit umum milik negara ataupun swasta.
Di Klinik Umiyah itu, para pasien, baik yang rawat jalan maupun rawat inap, tidak harus pusing dengan biaya yang harus dikeluarkan. Baik untuk bayar dokter, biaya perawatan, menginap ataupun untuk biaya obat. Semuanya hanya dengan infak semampu pasien.
Celetukan orang miskin dilarang sakit memang terdengar menyakitkan mengingat biaya pengobatan terbilang mahal, terutama bagi orang miskin yang tidak mempunyai jaminan kesehatan, baik jaminan kesehatan sosial (jamkesos) jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) maupun jaminan persalinan (jampersal).
Di klinik itu pasien miskin yang sakit ditanggung oleh pengelola secara ikhlas. Meski miskin, jika sakit tetap mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa dipandang kelas ekonominya.
Siti fatimah, salah satu keluarga pasien menginap di klinik itu, menuturkan ia bersyukur adanya klinik yang bisa menampung keluarganya yang sakit tanpa harus dibebani biaya yang ia sendiri tidak mampu membayar. Marsudi sang suami yang sedang dirawat karena sakit kepala yang berkepanjangan bisa sampai pulih dengan pelayanan para petugas, baik dokter maupun perawatnya.
"Dokter dan perawatnya ramah dan kami tidak tambah pusing mikir biaya," kata Siti.
Padmi Bekti Lestari, dokter umum alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Surakarta tahun 2010, mengatakan pengelolaan keuangan untuk membiayai pengobatan pasien dilakukan secara terbuka. Seluruh pemasukan klinik yang berasal dari kota infak/sedekah dicatat dan dipublikasikan melalui website.
Ia menjelaskan, di rumah sakit umum, pasien harus mendaftar dengan biaya rata-rata Rp 6.000 sekali berobat, biaya dokter Rp 50 ribu atau lebih. Belum lagi biaya obat yang mencapai ratusan ribu. Di klinik ini para pasien hanya cukup memberi infak semampunya.
"Orang sakit harus sedia uang, bahkan sebelum masuk rumah sakit harus ada jaminan pembiayaan. Di kilinik ini pasien tidak terbebani itu," kata dia.
Menurutnya, yang menjadi dokter umum di klinik itu bekerja tidak sekadar mendapatkan gaji besar tapi juga kesungguhan dalam melayani. Bahkan ia rela honornya dipotong dari rumah sakit lain demi pengabdiaannya.
Klinik Umiyah merupakan gagasan dari Gunawan Setiadi, seorang dokter peneliti di WHO (World Health Organization). Saat berdiri dua tahun lalu klinik itu hanya melayani persalinan. Tetapi karena banyak masyarakat miskin yang tidak mempunyai kartu jaminan kesehatan, klinik itu dijadikan klinik umum yang melayani semua penyakit.
Ia berkisah, latar belakang berdirinya layanan berbasis sedekah dan infak ini terinspirasi dari banyaknya keluhan soal biaya pengobatan yang mahal, kesulitan mengakses layanan kesehatan, hingga repotnya mengurus jaminan kesehatan.
"Klinik Umiyah ingin menjawab masalah-masalah pasien karena kesulitan biaya pengobatan," kata Gunawan.
Di klinik ini tersedia 1 tenaga dokter spesialis, 3 dokter umum, 4 perawat dan bidan senior, 2 tenaga medis dan satu asisten apoteker. Setiap hari rata-rata kunjungan pasien sebanyak 20-30 orang. Jika dirata-rata per bulan ada 700 pasien, baik rawat inap, rawat jalan maupun ibu melahirkan.
Bangunan yang berdiri di atas luas tanah 1.900 meter persegi itu terdiri dari dua ruang rawat inap, satu ruang bersalin, ruang periksa, dapur. Kini pengelola tengah membangun musala yang dananya bersumber dari sedekah dan amal jariyah sejumlah pihak yang bersimpati.
Dalam satu bulan jumlah uang infak rata-rata Rp 5 juta hingga Rp 6 juta. Dibandingkan dengan biaya operasional klinik sangat jauh berbeda. Dalam satu bulan pengeluaran biaya operasional klinik antara Rp 23 juta hingga Rp 30 juta.
Dana itu untuk gaji dokter, bidan, perawat, listrik, obat dan lain-lain. Namun dengan sistem infak ini justru klinik itu sering mendapatkan bantuan dari berbagai pihak yang tidak mau disebutkan namanya. Dalam satu bulan dana dari sedekah para dermawan dan infak pasien rata-rata bisa mencapai Rp 60 juta.
Lalu bagaimana jika tidak ada sumbangan dari donator yang masuk, dari mana dana untuk membiayai operasional klinik? Pertanyaan itu dijawab Gunawan, “Awalnya kami khawatir, tapi sampai saat ini donator selalu ada bahkan banyak. Kami yakin bersama masyarakat miskin, Tuhan pasti memberi jalan," kata dia.
Ia menjelaskan, awal pendirian klinik tahun 2010 itu banyak orang yang menyindir, paling maksimal dua tahun klinik akan bangkrut. Namun kenyataannya sampai sekarang uang untuk operasional klinik itu masih surplus.
Pembiayaan di klinik itu bahkan sampai ada yang diberikan kepada pasien saat melahirkan jika memiliki kelainan dan harus dirujuk ke rumah sakit umum. Biayanya pun diberikan oleh pihak klinik bahkan mencapai jutaan rupiah. Pasien itu hanya mampu membayar Rp 300 ribu saja sebagai inifaknya. Tetapi itu merupakan infak yang tidak dipaksakan karena kesadaran keluarga pasien yang telah dibantu biaya kelahiran.
"Para tenaga medis di sini semuanya ikhlas meski gajinya tidak sepadan dengan gaji di rumah sakit lain. Tapi tabungan surga telah menanti," kata Gunawan yang pensiun dini dari jabatannya sebagai Kepala Perencanaan Kementerian Kesehatan itu.
Ia menuturkan, untuk menghemat biaya pasien yang mengalami penyakit dalam atau harus dioperasi, pihak klinik bekerja sama dengan ibu-ibu PKK di Purworejo. Pasien miskin tidak perlu mengurus asuransi jaminan kesehatan, tapi ibu-ibu PKK yang akan mengurus jaminan kesehatan.
Meskipun layanan dari tenaga medis dengan didasari keikhlasan, mereka tetap diberi gaji. Gaji pengelola klinik itu tidak sepadan dengan rumah sakit lain, tapi masih di atas upah minimum regional setempat.
Gunawan yang kelahiran Purworejo pada 1955 itu memberi petuah, dengan jalan bersedekah, Tuhan pasti akan mengganti sedekah itu dengan berlimpah. Ia mempelajari ilmu agama tidak dengan hati. Tapi dengan logika.
"Semua saya pelajari dengan ini," kata dia sambil menunjuk kepalanya. Ia mencari tahu lewat membaca referensi buku bagaimana cara Tuhan membagi rezeki. Kuncinya satu, yaitu berbagi dan bersedekah.
MUH SYAIFULLAH
No comments:
Post a Comment