Kita sering habis-habisan berbuat untuk sesuatu yang justru akan kita tinggal. Sedang untuk sesuatu yang bakal abadi, sering kita tidak sungguh-sungguh.
saya punya kawan yang buka toko sepatu. Satu hari ia berkhidmat kepada agama. Dia memilih khuruj (keluar 3 hari sampe 40 hari) ala jamaah tabligh. Tokonya ia atur sebaik-baiknya sebelum ia meninggalkannya. Ia aturkan karyawan-karyawannya, ia amanahkan sebaik-baiknya tokonya ini kepada anak buah dan saudaranya. Dia mengaku, toko sepatunya malah mendapatkan hasil lebih.
Ada seseorang yang berkhidmat kepada seorang kyai. Ia bantu kyai ini, ia temani kyai ini keliling daerah. Sementara ia punya usaha pabrikan rumahan pembuat mesin pengering nangka dan pisang. Biasanya dia hanya mampu menjualkan 1-2 mesin saja per bulan. Ini dia mengaku dia bisa menghasilkan sampai 5 mesin, per bulan!
Seorang anak muda datang bersama istri dan keluarganya. Minta nasihat agar dikuatkan mentalnya untuk jadi ustadz di pedalaman. Tapi keluarganya bingung. Ia selama ini kerja di pabrik. Gajinya 800rb, masih ada bonus-bonus dan tunjangan ini itu. Tapi itu pun seringnya nombok, dan punya hutang. Panggilan hatinya kuat sekali untuk berdakwah. Karenanya ia pamit untuk kemudian menjadi dai pedalaman. Niatan ini lumayan disetujui, sekaligus jadi beban pemikiran istri dan orang tuanya. Bergaji saja engga bisa hidup pas-pasan (nombok), apalagi kalo sampe ga punya gaji sama sekali. Saya perkuat hatinya, bahwa kalau memang sudah bulat, syaratnya jangan mengeluh. Insya Allah, Allah akan mengaruniakan sesuatu yang lebih. Dan benar saja. Satu tahun kemudian ia bercerita, hidupnya lebih punya sekarang ini. Bulan pertama saja, gaji sebesar 50rb per bulan dari lembaga dakwah yang menaungi perjalanannya ini malahan utuh. Apa sebab? Allah menanggung hidupnya. Orang-orang kampung yang diajarnya digerakkan Allah untuk memberikan sebagian hasil panen penduduk kepada dia. Malah katanya lebih hingga bisa dijual untuk bisa membelikan sesuatu buat istri, anak dan orang tuanya. Masya Allah kan?
Seorang pemasar di bidang konstruksi, mencoba untuk hidup mementingkan Allah. Ia lalu menjadi memegang prinsip bahwa Allah itu segala-galanya. Rapat-rapat ia beritahu bahwa ia harus break 10 menit sebelum azan, dan klien-kliennya malah disuruh nunggu! Katanya, kalau berkenan menunggu, saya senang sekali. Tapi kalau ga berkenan menunggu, ya baiknya kita re-schedule jadwal yang nabrak waktu shalat, untuk dipilih yang tidak nabrak waktu shalat.
Katanya, pernah kejadian, ada satu klien, yang direksinya itu “bule”. Si bule ini mempersilahkan dia mem-break, sebab ga mungkin di-re-schedule. Lalu apa yang terjadi? Meeting dicukupkan sampe waktu break saja. Batalkah? Tidak. Pemasar konstruksi ini bercerita, bahwa tuh bule merasa ga usah lagi harus diperpanjang masa diskusinya. Mengapa? Katanya, bule kini percaya sama dirinya. Dia sudah perhatian sama Tuhannya, pasti dia orang jujur, begitu kata bule ini meyakinkan. Dan bule ini masih menambahkan, bahwa dia disiplin dengan waktu audiensi bersama Tuhannya, pasti pekerjaan-pekerjaan yang dipercayakan kepadanya pun akan juga disiplin.
Seorang pengusaha makanan, mengubah kebiasaan (culture) perusahaannya. Biasanya ia ajarkan agar karyawannya sigap-sigap mencari dan melayani pelanggannya. Tapi apa yang terjadi? Setelah ia berkenalan dengan ilmu tauhid, ia berkeinginan mempraktekkan ketauhidannya ini di lingkup usahanya.
------------------
Judul materi :
Dapat Apa Dari Dunia…?
Dunia harus dikejar. Karena di sini kita hidup. Namun akhirat juga harus diperhatikan. Sebab di sanalah tempat kita kembali. Inilah doa dan ajaran keseimbangan hidup yang diajarkan Rasulullah.
Peserta KuliahOnline CPA (http://www.club-pecinta-alquran.com/) yang saya sayangi.
Di usia saya yang kata orang masih muda ini, saya sering berpikir. Dikasih apa kita ini sama dunia? Belum meninggal aja, kita ini ga dikasih apa-apa.
Punya mobil lebih dari satu, yang dipake tetep satu. Bener sih istri make mobil, anak-anak make mobil. Tapi kita kehilangan mereka nantinya. Mereka pun sering kehilangan kita.
punya suami kayak ga punya suami. Punya istri kayak ga punya istri. Punya anak kayak ga punya anak. Punya orang tua, kayak ga punya orang tua. Punya tetangga, kayak ga punya tetangga. Punya saudara kayak ga punya saudara. Punya kawan, kayak ga punya kawan. Akhir-akhirnya, punya agama, kayak ga punya agama.
Ada bintang-bintang yang begitu populer, lalu tenggelam berakhir masa kepopulerannya. Dunia tetap berputar, tapi kehidupannya banyak yang mati lampu. Populer sudah tidak. Merasa populer, masih. Mati, ada yang meninggalkan hutang. Ada yang begini ada yang begitu.
Sementara, tidak sedikit orang-orang kaya yang tidak bisa menikmati kekayaannya. Kekayaan yang dinikmati adalah yang di atas kertas. Bukan kekayaan yang sesungguhnya. Makan, tidak bersama keluarga. Dia di mana, keluarga di mana. Tidur tidak bersama keluarga. Dia di mana, keluarga di mana. Sibuk dengan urusannya. Kaya iya, tapi kualitas hidupnya? Layak dipertanyakan kalau ia menyempatkan diri merenung. Begitu gagahnya, dunia malah menjadikannya duduk di kursi pesakitan, disorot layar kaca duduk di kursi tersangka. Tidak sedikit juga pengusaha yang susah payah membangun rumah super mewahnya, tapi ia betul-betul sudah tinggal di penjara.
Sungguhpun penjara ia bisa sulap menjadi ruangan super mewah, ya tetap saja penjara namanya. Rumah yang luar biasa ia bangun pun kalo ditanya dibangun untuk siapa? Ia kelak tidak mengerti juga jawabannya. Kalo dijawab buat anak-anaknya, nyatanya anak-anaknya studi di luar kota dan di luar negeri.
Kalo dijawab untuk orang tuanya, nyatanya orang tuanya di kampung sana. Orang tuanya juga merasa percuma kalo maen ke rumah tersebut, sebab memang tidak ada siapa-siapa.
Di banyak blok perumahan mewah, justru banyak yang tidak berpenghuni. Ada yang berpenghuni, namun bukan penghuni asli. Melainkan hanya penyewa, atau bahkan pembantu. Sudah mah nempatin gratis, dikasih duit pula tuh pembantu dan ditanggung semua hajat dan keperluannya. Termasuk urusan-urusan air, listrik, dan kebersihan serta keamanan.
Adduh, mata saya ini koq ya merasa “bukan itu yang harus kita cari”. Itulah barangkali yang disebut dengan kesenangan yang menipu. Apanya yang senang? Cuma perasaannya saja. Atau cuma katanya saja.
Ada kawan yang membangun hotel, dan ia sekalian tinggal di situ. Tahukah saudara, di kamar mana ia tinggal? Di kamar yang biasa saja. Bahkan cenderung di kamar yang paling jelek. Sebab kamar-kamarnya disewain semua. Lihat, dunia bahkan mengambil semuanya. Kalo kamar yang itupun ada yang sewa, ia memilih tinggal di rumah di belakang hotel yang ia sewa dari penduduk dengan bayar tahunan! Ini kan gendeng.
Tapi, kalo kekayaan itu ada di tangan orang soleh, subhaanallaah, manfaat. Rumah mewah banyak dibangun oleh dia supaya duitnya berputar. Ia sewakan untuk orang-orang asing. Setelah berputar, hasilnya ia bikin untuk lebih menggerakkan ekonomi syariah di kampungnya. Subhaanallaah. Mobil dia beliin yang banyak, buat kemudian diberdayakan uangnya. Dapet uang, kemudian belanjakan dah buat orang susah.
Punya uang, beli-beliin dah perusahaan-perusahaan sakit. Kemudian sehatin. Habis itu jual. Hasil penjualannya untuk membantu pesantren-pesantren dah. Mantab.
Saya barangkali terlalu sentimentil ya? Tapi baiklah, saya turunin sedikit tempo nya. Coba aja lihat 2 tulisan berikut ini...
***
Karyawan
Masih seputar dapet apa dari dunia? Jika kita memburu hanya dunia, maka sungguh, kita tidak akan dapat apa2. Makanya Allah dan Rasul-Nya mengajarkan, jangan hanya mengejar dunia. Kejar juga akhirat, dengan memperhatikan amal saleh yang menjadi bekal menghadap Allah. Banyak-banyak berbuat kebaikan. Dan utamanya, perbaiki cara kita beribadah. Jangan sampai mencintai Allah hanya di mulut saja.
Sesungguhnya kita tidak mencintai Allah melainkan mencintai dunia.
Ada seorang karyawan yang kalo saya tanya, dapat apa situ dari dunia? Gaji situ buat apa? Wong buat kebutuhan situ aja kurang? Lalu ia jawablah pake kata hatinya. Kata yang paling jujur yang pernah ia dengar. Dan itulah jawabannya sendiri. Bukan jawaban orang lain. Apa katanya? Iya juga. Saya tidak mendapatkan apa-apa. Saya berjuang untuk rumah yang sesungguhnya saya tidak tahu apakah kalau saya meninggal nanti rumah ini udah lunas atau belum. KPR nya, 15 tahun. Sekarang baru jalan 8 tahun. Sedang kematian tidak ada yang tahu.
Mobil yang saya dapatkan pun, kredit. Motor juga begitu. Barang-barang di rumah ini, rata-rata kredit. Ada yang kredit memang barangnya, ada yang dari kartu kredit. Begitu katanya.
Dapat apa dia? Semula ia berpikir ia sudah mencapai banyak hal. Ternyata tidak. Coba aja kalau dia sakit agak panjang. Sebut saja, sakit 4-5 bulan. Lalu ia di-PHK. Maka kemudian seluruh rencana keuangan, berantakan. Rumah, tidak lagi terbayar, lalu disita.
Mobil dan motor lalu ditarik leasing. Lalu dia? Dapat apa? Ga dapat apa-apa. Rupanya selama ini ia hidup untuk bank di mana ia kredit rumah. Ia hidup untuk bayar kartu kredit yang ga lunas-lunas. Ia hidup untuk bayar leasing yang membengkakkan harga motor dan mobilnya sekian kali lipat. Banyak kemudian karyawan-karyawan yang terjebak oleh hutang yang tidak terbayar dan akhirnya bener-bener ga punya apa-apa.
Di situ kemudian menjadi peluang dunia industri asuransi. Ada asuransi ini ada asuransi itu. Ok, fine, ikut aja, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Namun, jangan lupakan asuransi akhirat dengan shalat dan sedekah. Dunia, bakal hilang. Tapi Allah dan seluruh amal kita, ga bakal hilang.
Tidak sedikit dari mereka yang kemudian setelah semua aset yang dibelinya dengan acar berhutang, lunas, harus dijual kembali dengan harga murah. Sebab ternyata satu dua hal yang tidak terprediksi sebelumnya. Misal, adiknya masuk penjara sebab satu hutang. Itu kan bukan sebab dia. Sebab adiknya. Tapi orang tuanya mohon-mohon agar ia jual rumahnya untuk membantu adiknya. Orang tuanya lalu bilang, tinggallah dulu di rumahnya beliau. Manalah kita tega. Kita juallah rumah kita, dan kemudian kita mengontrak, hanya agar jangan satu atap dengan orang tua. Lihat, gila kan? Cape-cape kita kemudian bayar angsuran rumah, akhirnya ngontrak-ngontrak juga.
Ya begitu lah dunia.
Ada yang bilang,
(+) Hei, kenapa engkau menyalahkan dia? Bukankah dia membantu orang tua dan adiknya?
(-) Kelihatannya sih begitu.
(+) Koq kelihatannya?
(-) Ya, emang.
(+) Emang pegimana?
(-) Begini. Kalau ketika dia bekerja, dia ga lupa sama Allah, itu namanya ujian dari Allah. Dan insya Allah itu adalah kebaikan dari Allah. Tapi kalau selama dia kerja, dia tidak ingat sama Allah, maka sesungguhnya Allah mengazabnya. Allah tungguin apa yang dia kumpulin itu benar-benar lunas, lalu Allah ambil serta merta dengan cara-cara yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
(+) Wah, kalo gitu jahat ya Allah?
(-) Ya, tidak. Mana mungkin jahat? Daripada diazabnya nanti di akhirat? Kan repot.
(+) Ukurannya apaan?
(-) Shalat ga dia? Kalau dia jawab: shalat, maka shalatnya seperti apa? Kalo shalatnya sering di akhir waktu, ya sama saja dengan tidak menghargai Allah. Kita kan disuruh syukur. Masa kemudian sama Allah malah mengurangi waktu. Sedang sama dunia, ditambah terus jam untuk mencarinya. Lihat lagi, sedekahnya gimana? Sebelum kerja, sedekah seribu, istilahnya. Kemudian, setelah kerja, masih seribu. Ini kan tidak bersyukur disebutnya.
(+) Oh, kalau begitu, termasuk firman-Nya ya: Bersyukurlah kamu, maka akan Aku tambah nikmat-Ku padamu. Tapi kalau kalian tidak bersyukur, maka sesungguhnya azab Allah teramat pedih.
(-) Nah, itu tahu.
Ya begitu tuh dunia. Dunia dipegang, dia berontak. Didekap, malah menendang. Diburu, malah maju memukul. Dilayani, malah memerintah. Dikejar, malah memerangkap. Dia menyerahkan dirinya, tapi dunia itu menipu. Sesunguhnya dia tidak pernah menyerahkan dirinya. Dunia hanya mempermainkan manusia. Makanya Allah menasihati untuk jangan tertipu urusan dunia. Banyak-banyak beramal saleh, sebab itu yang lebih kekal.
Masih kelihatan sentimentil ya?
“Nanti malah menghalangi orang mencari dunia loh.” begitu kata sebahagiannya yang lain.
Ah, biar saja. Mudah-mudahan ada yang terbuka mata hatinya. Bila selama ini hidup untuk dunia. Kini, hidupnya di dunia, tapi untuk Allah, Yang Punya Dunia. Ia jadikan dunia sebagai sarana ibadah kepada Pemilik Dunia.
sumber: http://www.club-pecinta-alquran.com/index.php?option=com_fireboard&func=view&id=61&catid=13&Itemid=68#61
saya punya kawan yang buka toko sepatu. Satu hari ia berkhidmat kepada agama. Dia memilih khuruj (keluar 3 hari sampe 40 hari) ala jamaah tabligh. Tokonya ia atur sebaik-baiknya sebelum ia meninggalkannya. Ia aturkan karyawan-karyawannya, ia amanahkan sebaik-baiknya tokonya ini kepada anak buah dan saudaranya. Dia mengaku, toko sepatunya malah mendapatkan hasil lebih.
Ada seseorang yang berkhidmat kepada seorang kyai. Ia bantu kyai ini, ia temani kyai ini keliling daerah. Sementara ia punya usaha pabrikan rumahan pembuat mesin pengering nangka dan pisang. Biasanya dia hanya mampu menjualkan 1-2 mesin saja per bulan. Ini dia mengaku dia bisa menghasilkan sampai 5 mesin, per bulan!
Seorang anak muda datang bersama istri dan keluarganya. Minta nasihat agar dikuatkan mentalnya untuk jadi ustadz di pedalaman. Tapi keluarganya bingung. Ia selama ini kerja di pabrik. Gajinya 800rb, masih ada bonus-bonus dan tunjangan ini itu. Tapi itu pun seringnya nombok, dan punya hutang. Panggilan hatinya kuat sekali untuk berdakwah. Karenanya ia pamit untuk kemudian menjadi dai pedalaman. Niatan ini lumayan disetujui, sekaligus jadi beban pemikiran istri dan orang tuanya. Bergaji saja engga bisa hidup pas-pasan (nombok), apalagi kalo sampe ga punya gaji sama sekali. Saya perkuat hatinya, bahwa kalau memang sudah bulat, syaratnya jangan mengeluh. Insya Allah, Allah akan mengaruniakan sesuatu yang lebih. Dan benar saja. Satu tahun kemudian ia bercerita, hidupnya lebih punya sekarang ini. Bulan pertama saja, gaji sebesar 50rb per bulan dari lembaga dakwah yang menaungi perjalanannya ini malahan utuh. Apa sebab? Allah menanggung hidupnya. Orang-orang kampung yang diajarnya digerakkan Allah untuk memberikan sebagian hasil panen penduduk kepada dia. Malah katanya lebih hingga bisa dijual untuk bisa membelikan sesuatu buat istri, anak dan orang tuanya. Masya Allah kan?
Seorang pemasar di bidang konstruksi, mencoba untuk hidup mementingkan Allah. Ia lalu menjadi memegang prinsip bahwa Allah itu segala-galanya. Rapat-rapat ia beritahu bahwa ia harus break 10 menit sebelum azan, dan klien-kliennya malah disuruh nunggu! Katanya, kalau berkenan menunggu, saya senang sekali. Tapi kalau ga berkenan menunggu, ya baiknya kita re-schedule jadwal yang nabrak waktu shalat, untuk dipilih yang tidak nabrak waktu shalat.
Katanya, pernah kejadian, ada satu klien, yang direksinya itu “bule”. Si bule ini mempersilahkan dia mem-break, sebab ga mungkin di-re-schedule. Lalu apa yang terjadi? Meeting dicukupkan sampe waktu break saja. Batalkah? Tidak. Pemasar konstruksi ini bercerita, bahwa tuh bule merasa ga usah lagi harus diperpanjang masa diskusinya. Mengapa? Katanya, bule kini percaya sama dirinya. Dia sudah perhatian sama Tuhannya, pasti dia orang jujur, begitu kata bule ini meyakinkan. Dan bule ini masih menambahkan, bahwa dia disiplin dengan waktu audiensi bersama Tuhannya, pasti pekerjaan-pekerjaan yang dipercayakan kepadanya pun akan juga disiplin.
Seorang pengusaha makanan, mengubah kebiasaan (culture) perusahaannya. Biasanya ia ajarkan agar karyawannya sigap-sigap mencari dan melayani pelanggannya. Tapi apa yang terjadi? Setelah ia berkenalan dengan ilmu tauhid, ia berkeinginan mempraktekkan ketauhidannya ini di lingkup usahanya.
------------------
Judul materi :
Dapat Apa Dari Dunia…?
Dunia harus dikejar. Karena di sini kita hidup. Namun akhirat juga harus diperhatikan. Sebab di sanalah tempat kita kembali. Inilah doa dan ajaran keseimbangan hidup yang diajarkan Rasulullah.
Peserta KuliahOnline CPA (http://www.club-pecinta-alquran.com/) yang saya sayangi.
Di usia saya yang kata orang masih muda ini, saya sering berpikir. Dikasih apa kita ini sama dunia? Belum meninggal aja, kita ini ga dikasih apa-apa.
Punya mobil lebih dari satu, yang dipake tetep satu. Bener sih istri make mobil, anak-anak make mobil. Tapi kita kehilangan mereka nantinya. Mereka pun sering kehilangan kita.
punya suami kayak ga punya suami. Punya istri kayak ga punya istri. Punya anak kayak ga punya anak. Punya orang tua, kayak ga punya orang tua. Punya tetangga, kayak ga punya tetangga. Punya saudara kayak ga punya saudara. Punya kawan, kayak ga punya kawan. Akhir-akhirnya, punya agama, kayak ga punya agama.
Ada bintang-bintang yang begitu populer, lalu tenggelam berakhir masa kepopulerannya. Dunia tetap berputar, tapi kehidupannya banyak yang mati lampu. Populer sudah tidak. Merasa populer, masih. Mati, ada yang meninggalkan hutang. Ada yang begini ada yang begitu.
Sementara, tidak sedikit orang-orang kaya yang tidak bisa menikmati kekayaannya. Kekayaan yang dinikmati adalah yang di atas kertas. Bukan kekayaan yang sesungguhnya. Makan, tidak bersama keluarga. Dia di mana, keluarga di mana. Tidur tidak bersama keluarga. Dia di mana, keluarga di mana. Sibuk dengan urusannya. Kaya iya, tapi kualitas hidupnya? Layak dipertanyakan kalau ia menyempatkan diri merenung. Begitu gagahnya, dunia malah menjadikannya duduk di kursi pesakitan, disorot layar kaca duduk di kursi tersangka. Tidak sedikit juga pengusaha yang susah payah membangun rumah super mewahnya, tapi ia betul-betul sudah tinggal di penjara.
Sungguhpun penjara ia bisa sulap menjadi ruangan super mewah, ya tetap saja penjara namanya. Rumah yang luar biasa ia bangun pun kalo ditanya dibangun untuk siapa? Ia kelak tidak mengerti juga jawabannya. Kalo dijawab buat anak-anaknya, nyatanya anak-anaknya studi di luar kota dan di luar negeri.
Kalo dijawab untuk orang tuanya, nyatanya orang tuanya di kampung sana. Orang tuanya juga merasa percuma kalo maen ke rumah tersebut, sebab memang tidak ada siapa-siapa.
Di banyak blok perumahan mewah, justru banyak yang tidak berpenghuni. Ada yang berpenghuni, namun bukan penghuni asli. Melainkan hanya penyewa, atau bahkan pembantu. Sudah mah nempatin gratis, dikasih duit pula tuh pembantu dan ditanggung semua hajat dan keperluannya. Termasuk urusan-urusan air, listrik, dan kebersihan serta keamanan.
Adduh, mata saya ini koq ya merasa “bukan itu yang harus kita cari”. Itulah barangkali yang disebut dengan kesenangan yang menipu. Apanya yang senang? Cuma perasaannya saja. Atau cuma katanya saja.
Ada kawan yang membangun hotel, dan ia sekalian tinggal di situ. Tahukah saudara, di kamar mana ia tinggal? Di kamar yang biasa saja. Bahkan cenderung di kamar yang paling jelek. Sebab kamar-kamarnya disewain semua. Lihat, dunia bahkan mengambil semuanya. Kalo kamar yang itupun ada yang sewa, ia memilih tinggal di rumah di belakang hotel yang ia sewa dari penduduk dengan bayar tahunan! Ini kan gendeng.
Tapi, kalo kekayaan itu ada di tangan orang soleh, subhaanallaah, manfaat. Rumah mewah banyak dibangun oleh dia supaya duitnya berputar. Ia sewakan untuk orang-orang asing. Setelah berputar, hasilnya ia bikin untuk lebih menggerakkan ekonomi syariah di kampungnya. Subhaanallaah. Mobil dia beliin yang banyak, buat kemudian diberdayakan uangnya. Dapet uang, kemudian belanjakan dah buat orang susah.
Punya uang, beli-beliin dah perusahaan-perusahaan sakit. Kemudian sehatin. Habis itu jual. Hasil penjualannya untuk membantu pesantren-pesantren dah. Mantab.
Saya barangkali terlalu sentimentil ya? Tapi baiklah, saya turunin sedikit tempo nya. Coba aja lihat 2 tulisan berikut ini...
***
Karyawan
Masih seputar dapet apa dari dunia? Jika kita memburu hanya dunia, maka sungguh, kita tidak akan dapat apa2. Makanya Allah dan Rasul-Nya mengajarkan, jangan hanya mengejar dunia. Kejar juga akhirat, dengan memperhatikan amal saleh yang menjadi bekal menghadap Allah. Banyak-banyak berbuat kebaikan. Dan utamanya, perbaiki cara kita beribadah. Jangan sampai mencintai Allah hanya di mulut saja.
Sesungguhnya kita tidak mencintai Allah melainkan mencintai dunia.
Ada seorang karyawan yang kalo saya tanya, dapat apa situ dari dunia? Gaji situ buat apa? Wong buat kebutuhan situ aja kurang? Lalu ia jawablah pake kata hatinya. Kata yang paling jujur yang pernah ia dengar. Dan itulah jawabannya sendiri. Bukan jawaban orang lain. Apa katanya? Iya juga. Saya tidak mendapatkan apa-apa. Saya berjuang untuk rumah yang sesungguhnya saya tidak tahu apakah kalau saya meninggal nanti rumah ini udah lunas atau belum. KPR nya, 15 tahun. Sekarang baru jalan 8 tahun. Sedang kematian tidak ada yang tahu.
Mobil yang saya dapatkan pun, kredit. Motor juga begitu. Barang-barang di rumah ini, rata-rata kredit. Ada yang kredit memang barangnya, ada yang dari kartu kredit. Begitu katanya.
Dapat apa dia? Semula ia berpikir ia sudah mencapai banyak hal. Ternyata tidak. Coba aja kalau dia sakit agak panjang. Sebut saja, sakit 4-5 bulan. Lalu ia di-PHK. Maka kemudian seluruh rencana keuangan, berantakan. Rumah, tidak lagi terbayar, lalu disita.
Mobil dan motor lalu ditarik leasing. Lalu dia? Dapat apa? Ga dapat apa-apa. Rupanya selama ini ia hidup untuk bank di mana ia kredit rumah. Ia hidup untuk bayar kartu kredit yang ga lunas-lunas. Ia hidup untuk bayar leasing yang membengkakkan harga motor dan mobilnya sekian kali lipat. Banyak kemudian karyawan-karyawan yang terjebak oleh hutang yang tidak terbayar dan akhirnya bener-bener ga punya apa-apa.
Di situ kemudian menjadi peluang dunia industri asuransi. Ada asuransi ini ada asuransi itu. Ok, fine, ikut aja, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Namun, jangan lupakan asuransi akhirat dengan shalat dan sedekah. Dunia, bakal hilang. Tapi Allah dan seluruh amal kita, ga bakal hilang.
Tidak sedikit dari mereka yang kemudian setelah semua aset yang dibelinya dengan acar berhutang, lunas, harus dijual kembali dengan harga murah. Sebab ternyata satu dua hal yang tidak terprediksi sebelumnya. Misal, adiknya masuk penjara sebab satu hutang. Itu kan bukan sebab dia. Sebab adiknya. Tapi orang tuanya mohon-mohon agar ia jual rumahnya untuk membantu adiknya. Orang tuanya lalu bilang, tinggallah dulu di rumahnya beliau. Manalah kita tega. Kita juallah rumah kita, dan kemudian kita mengontrak, hanya agar jangan satu atap dengan orang tua. Lihat, gila kan? Cape-cape kita kemudian bayar angsuran rumah, akhirnya ngontrak-ngontrak juga.
Ya begitu lah dunia.
Ada yang bilang,
(+) Hei, kenapa engkau menyalahkan dia? Bukankah dia membantu orang tua dan adiknya?
(-) Kelihatannya sih begitu.
(+) Koq kelihatannya?
(-) Ya, emang.
(+) Emang pegimana?
(-) Begini. Kalau ketika dia bekerja, dia ga lupa sama Allah, itu namanya ujian dari Allah. Dan insya Allah itu adalah kebaikan dari Allah. Tapi kalau selama dia kerja, dia tidak ingat sama Allah, maka sesungguhnya Allah mengazabnya. Allah tungguin apa yang dia kumpulin itu benar-benar lunas, lalu Allah ambil serta merta dengan cara-cara yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
(+) Wah, kalo gitu jahat ya Allah?
(-) Ya, tidak. Mana mungkin jahat? Daripada diazabnya nanti di akhirat? Kan repot.
(+) Ukurannya apaan?
(-) Shalat ga dia? Kalau dia jawab: shalat, maka shalatnya seperti apa? Kalo shalatnya sering di akhir waktu, ya sama saja dengan tidak menghargai Allah. Kita kan disuruh syukur. Masa kemudian sama Allah malah mengurangi waktu. Sedang sama dunia, ditambah terus jam untuk mencarinya. Lihat lagi, sedekahnya gimana? Sebelum kerja, sedekah seribu, istilahnya. Kemudian, setelah kerja, masih seribu. Ini kan tidak bersyukur disebutnya.
(+) Oh, kalau begitu, termasuk firman-Nya ya: Bersyukurlah kamu, maka akan Aku tambah nikmat-Ku padamu. Tapi kalau kalian tidak bersyukur, maka sesungguhnya azab Allah teramat pedih.
(-) Nah, itu tahu.
Ya begitu tuh dunia. Dunia dipegang, dia berontak. Didekap, malah menendang. Diburu, malah maju memukul. Dilayani, malah memerintah. Dikejar, malah memerangkap. Dia menyerahkan dirinya, tapi dunia itu menipu. Sesunguhnya dia tidak pernah menyerahkan dirinya. Dunia hanya mempermainkan manusia. Makanya Allah menasihati untuk jangan tertipu urusan dunia. Banyak-banyak beramal saleh, sebab itu yang lebih kekal.
Masih kelihatan sentimentil ya?
“Nanti malah menghalangi orang mencari dunia loh.” begitu kata sebahagiannya yang lain.
Ah, biar saja. Mudah-mudahan ada yang terbuka mata hatinya. Bila selama ini hidup untuk dunia. Kini, hidupnya di dunia, tapi untuk Allah, Yang Punya Dunia. Ia jadikan dunia sebagai sarana ibadah kepada Pemilik Dunia.
sumber: http://www.club-pecinta-alquran.com/index.php?option=com_fireboard&func=view&id=61&catid=13&Itemid=68#61