Awal mulanya masjid di Kairo yang kemudian berkembang menjadi
Universitas Al Azhar itu dulunya cuma sebuah masjid. Adalah Jauhar
Al-Shaqali, seorang panglima perang dinasti Fathimiyah pada tahun 970,
yang semula membangunnya. Masjid di Kairo, Mesir, itu lantas berkembang
menjadi tempat dakwah dan majelis ilmu yang semakin besar. Bahkan di era
Muhammad Abduh dibentuklah jenjang pendidikan dari tingkat dasar sampai
universitas.
Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan terkemuka tak sepeser pun menarik
iuran dari mahasiswanya. Bahkan setiap tahunnya universitas berumur
lebih dari seribu tahun ini memberikan beasiswa bagi ribuan
mahasiswanya. Tak cuma itu. Al-Azhar juga menerbitkan kitab agama dan
buku lainnya secara gratis. Kalaupun tidak, buku-buku dijual dengan
harga sangat murah.
Menurut Dr. Abdul Aziz Kamil, mantan Menteri Waqaf dan Urusan
Al-Azhar Mesir, perjalanan Al-Azhar dari sebuah masjid dan ruwaq-asrama
sederhana buat mahasiswa-hingga menjadi besar tak terlepas dari peran
umat Islam. Umatlah yang menyumbangkan dananya melalui amal jariah,
termasuk wakaf, baik wakaf uang, harta benda, tanah, maupun gedung.
Di Indonesia, ada memang yang dianggap berhasil mengelola dana wakaf,
yakni Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor di Ponorogo, Jawa
Timur. Berlokasi di atas tanah wakaf seluas 165 hektare, Gontor
didominasi oleh sawah produktif. Menurut K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi,
pemimpin Gontor, tanah produktif itu dikelola dengan sistem bagi hasil.
Mitra dalam pengelolaan ini tak lain adalah penduduk di sekitar pondok.
Sawah seluas 120 hektare milik pondok di Desa Sambirejo, Mantingan,
Ngawi, misalnya, mampu menghasilkan Rp 350 juta setahun.
Di tanah yang tak memungkinkan dilakukan usaha pertanian, diupayakan
beragam kegiatan usaha. Unit usaha ini, selain dikelola oleh koperasi
pondok, juga diurus oleh organisasi santri. Di lokasi itu ada unit usaha
penggilingan padi, percetakan, toko bahan bangunan, toko buku, apotek,
wartel, pabrik es, jasa angkutan, pasar sayur-mayur, dan budidaya ayam
potong. Unit-unit usaha ini menyumbang dana sedikitnya Rp 2 miliar
setahun untuk pondok. Dana ini lantas disalurkan untuk kegiatan
operasional pendidikan, pengajaran, kaderisasi, pergedungan, dan
kesejahteraan keluarga pondok.
Uang dari hasil pengelolaan aset wakaf juga disisihkan untuk
pengembangan masyarakat sekitar pondok. Contohnya pendirian dan
pembinaan Taman Pendidikan Al Qur’an, pembangunan masjid, musala,
peringatan hari besar Islam, serta kegiatan pengajian dan ceramah agama.
Dengan cara itu, wakaf Gontor terus berkembang pesat. Wakaf tanah
kering yang semula hanya 1.740 hektare kini menjadi 104.621 hektere.
Tanah basah naik dari 16.851 menjadi 177.365 hektare. Wakaf bangunan
yang semula 12 unit sekarang meluas dengan didirikannya Pondok Putri dan
Pondok Cabang, serta pendirian Institut Studi Islam Darussalam.
Selain pembiayaan melalui wakaf, ada model lain yang tidak kalah
hebatnya, yaitu melalui sedekah. Ustadz Yusuf Mansur mampu membangun
lebih dari 3000 rumah tahfidz yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari
mana dananya? Dari sedekah para dermawan. Mereka menginfakkan sebagain
keuntungan perusahaan atau gajinya bagi pembangunan dan biaya
operasional rumah tahfidz. Banyak yang menyerahkan rumahnya agar
dipakai sebagai rumah tahfidz. Bila semua itu dikumpulkan nilainya bisa
triliunan rupiah.
Alhamdulillah, Klinik Umiyah yang memberikan pelayanan bagi dhuafa tanpa memasang tarif bisa juga berjalan. Hal tersebut terlaksana berkat sedekah para dermawan. Kalau begitu, kenapa tidak di setiap kota kita bikin sejenis Klinik Umiyah, agar kaum dhuafa tidak kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan?